Ketupat, dalam tafsir sosial-politik, menjadi simbol penting: hubungan antara pemerintah dan rakyat seharusnya dibangun bukan atas dasar kuasa semata, tetapi atas dasar kepercayaan, kesediaan untuk merefleksi diri, dan komitmen untuk berubah.
Lalu, bagaimana dengan anyaman janur?
Pada era digital ia bisa dimaknai sebagai representasi dari jaringan manusia yang makin tak kasat mata.
Media sosial, platform digital, dan ruang virtual telah membentuk relasi baru dari keterhubungan: kompleks, cair, kadang membingungkan.
Namun prinsip dasarnya tetap sama: kita saling terkait.
Dalam dunia yang penuh distraksi informasi, keterhubungan bukan hanya soal akses, tapi juga soal empati.
Apakah kita masih mau saling mendengar? Saling memahami?Â
Atau kita justru terperangkap dalam ruang gema (echo chambers)Â yang memperkuat bias masing-masing?
Pada konteks itu filosofi ketupat kembali berbicara.Â
Ia mengingatkan bahwa keterhubungan yang sehat membutuhkan kesadaran; membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita bisa saja salah; membutuhkan keberanian untuk keluar dari ego kelompok dan membangun ruang kebersamaan.
Ketupat, dengan segala kesederhanaannya, memberi pelajaran mendasar: harmoni sosial tidak terjadi begitu saja.Â