Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Elegi Gadis Desa Teluk Cikal

3 Maret 2018   22:40 Diperbarui: 3 Maret 2018   22:53 1758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Adik Rara," ucap Kakang Pranacitra, menyelasak di tengah gedebur ombak pantai Teluk Cikal. "Apakah cintamu kepadaku sedalam Laut Jawa?"

"Tidak, Kakang!" Terdiam aku sejenak sambil mengerling bunga bakung terbuai angin. "Cintaku serupa laut yang selalu menyampaikan salam manis ke pantai lewat keriap gelombang."

Kakang Pranacitra tercenung. Sementara, aku hanya bisa tundukkan kepala dengan jiwa menggelora seperti lautan pasang. Di naungan sinar mata yang purnama, cinta kian bersemi dalam putaran yin-yang.

/5/

Hari-hari hanyalah mimpi indahku yang tak berujung rentang pendakian cinta di puncak pelaminan. Namun sebelum tarub agung digelar di pelataran, langit serasa runtuh. Manakala empatpuluh prajurit menghadapkanku dengan paksa pada Tuan Pragola: harimau Pati yang selalu dahaga darah rusa muda.

Tak lebih jahanam, keputren Pati yang dihiasi taman dengan seribu satu bunga dan kolam penuh ikan. Ketika cintaku dirampas dari rengkuhan Kakang Pranacitra. Ketika hutang budiku pada Rama-Biyung belum lunas terbayar. Hatiku tercabik-cabik, ketika Tuan Pragola memaksaku untuk menjadi guling bersarung sutranya di ranjang asmara.

Sebagai anak samudra, pantang aku menitikkan air mata. Sebagaimana Shinta yang disekap Rahwana di taman Asoka, aku menyusun siasat cerdik dengan kata-kata selicin belut yang dikaruniakan Tuhan kepada setiap Hawa. "Sebagai penguasa Pati yang bijaksana, Tuan Pragola menghendaki raga atau jiwa hamba?"

"Apa makna di balik pertanyanmu?" tanya Tuan Pragola sembari memperjelas garis-garis di keningnya. "Katakan padaku dengan bahasa lugas!"

"Bila menghendaki raga, Tuan Pragola tak akan mendapatkan jiwa. Bila menghendaki jiwa, Tuan akan menguasai raga tanpa harus menaklukkan dengan cara singa. Hanya demi sekerat daging rusa."

Sesaat Tuan Pragola mencerna kata-kataku, suasana sesenyap larut malam. Namun kesenyapan itu pecah, ketika Tuan Pragola membuka suara dari mulutnya yang bau naga. "Aku menghendaki jiwamu, Kembang Desa Teluk Cikal."

"Jika demikian, izinkan hamba untujk menenangkan diri! Dengan jiwa sehening telaga, hamba dapat belajar menerima cinta dari Tuan Pragola. Seikhlas, ruangan tamu atas sejambangan bunga."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun