antibiotik, mana yang lebih tepat, apakah perlu kultur urin, bahkan tahu risikonya kalau asal kasih.
"Saya tahu saya bisa bantu, Bu." pikirnya dalam hati.
"Saya bisa lakukan anamnesis ringan, gali riwayat alergi, dosis, bahkan potensi resistensinya."
Tapi suara itu hanya berputar di kepala. Karena di depan meja racik, kompetensinya hanya dianggap berlaku kalau ada selembar kertas: resep dokter.
Dia menarik napas dalam. "Maaf, Bu, antibiotik harus dengan resep dokter."
Wajah ibu itu berubah masam. "Yaelah, Mas. Cuma sakit pipis doang, ribet amat sih. Apotek sebelah juga gak seribet ini."
Arya tersenyum lemah. "Saya ngerti, Bu. Tapi ini aturan yang harus saya ikuti."
Setelah ibu itu pergi dengan wajah kecewa dan keluhan panjang, Arya berdiri diam. Pandangannya kosong menatap rak obat, tapi pikirannya justru menatap dirinya sendiri.
"Kenapa saya diajarkan cara memilih antibiotik yang tepat, kalau ujung-ujungnya saya gak boleh memutuskan?"
"Kenapa saya disuruh menghafal golongan antibiotik, mekanisme resistensi, hingga interaksinya, kalau semua itu gak dianggap sah kecuali dokter yang ngomong duluan?"
"Jadi apoteker ini profesi... atau cuma perpanjangan tangan birokrasi?"