Arya duduk di kursi belakang, membuka buku catatannya yang masih berisi ringkasan kuliah klinik. Ia membuka halaman soal ISK (infeksi saluran kemih), melihat kembali betapa kompleksnya pertimbangan yang harus dilakukan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Tapi semua itu terasa seperti senjata tanpa peluru.
Di luar, omzet hari itu turun 7 persen dibanding kemarin. Asisten apotek melaporkan, "Tadi Bu Nani marah dan bilang bakal pindah apotek. Soalnya Mas Arya nolak kasih Cipro."
Pak Hadi hanya menggeleng sambil menatap laporan penjualan. Tidak marah, tapi nadanya dingin.
"Arya, kita bukan kuliah di sini. Kita jual obat."
Arya mengangguk pelan, tapi di dalam dirinya, suara lain mulai berontak.
"Kalau gitu, kenapa saya sekolah bertahun-tahun? Untuk jadi tukang jual barang dengan seragam putih?"
"Apa gunanya saya tahu mana pasien yang perlu antibiotik dan mana yang tidak, kalau tetap harus tunduk pada sistem yang hanya mengakui tulisan dokter di selembar kertas?"
Malam itu, Arya menulis di jurnal kecilnya:
"Hari ini saya tahu satu hal: kompetensi apoteker bukan tidak cukup. Tapi belum dianggap cukup. Kita disekolahkan untuk menjadi klinis, tapi ditempatkan di posisi yang dilarang berpikir mandiri. Dan semakin saya berusaha menjalankan ilmu saya, semakin saya tampak seperti musuh bagi sistem bisnis yang ada."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI