Arya menelan ludah. "Tapi, Pak, kalau kita terus-terusan kasih antibiotik sembarangan, nanti bisa terjadi resistensi antibiotik. Ini masalah kesehatan jangka panjang."
Pak Hadi menghela napas. "Kamu tahu gak, Arya? Saya udah 20 tahun di bisnis ini.
Dari dulu orang selalu ngomong soal resistensi, tapi nyatanya? Gak ada pasien yang protes. Yang penting mereka sembuh, besok balik lagi. Apotek ini butuh omzet buat jalan, bukan kuliah farmakologi."
Arya terdiam. Bukan kuliah farmakologi. Kata-kata itu menggema di kepalanya.
Hari itu, Arya bekerja dengan pikiran penuh. Setiap kali seorang pasien datang meminta obat tanpa resep, dia merasa ada dua suara di kepalanya:
- Suara idealis: "Jangan kasih. Ini salah. Edukasi pasien!"
- Suara realistis: "Kalau kamu terlalu kaku, apotek ini bisa rugi. Kamu mau bikin masalah sama bos?"
Sore harinya, seorang ibu-ibu datang dengan wajah penuh harap.
"Mas, saya butuh Ciprofloxacin buat infeksi saluran kemih saya. Langganan, kok. Biasanya saya beli di sini tanpa resep."
Arya menatapnya. Satu lagi.
Gejalanya jelas: anyang-anyangan, nyeri saat buang air kecil, mungkin juga demam ringan.
Kalau di kuliah, ini textbook banget.
Arya bisa langsung menilai---kapan perlu