Gaji pertama: Rp3,200,000. Dengan beban jaga, tanggung jawab APJ, cek kadaluarsa, lapor SIPNAP, buat laporan kinerja apotek, ngelatih SDM apotek, bahkan pajak juga diurusin. Tiga koma dua juta. Bersih. Tanpa THR. Tanpa BPJS.
Tapi di Instagram, aku harus tetap tersenyum. Karena apoteker harus terlihat profesional. Karena kalau kami marah, kami dianggap "tidak bersyukur."
Ada teman yang resign dan jadi freelancer skincare. Ada yang jualan diffuser. Ada yang full-time content creator. Ada yang jualan kelas online "Cara Lolos UKAI". Ada yang jadi barista dulu --- katanya lebih dihargai, lebih tenang.
Dan aku? Masih mencoba bertahan. Tapi bertanya-tanya, profesi ini jalan karier atau jalan sunyi?
Kami Kalcer, Bukan Malas
Kami tahu... generasi kami sering dibilang manja, instan, gak tahan banting. Tapi dengar dulu:
Kami justru generasi yang mau transparan, yang berani bicara, yang mau mengubah sistem dari dalam, tapi selalu dibungkam dengan kata-kata tua: "Zaman kami dulu lebih susah..."
Kami bukan malas. Kami hanya sadar bahwa bertahan tanpa makna bukanlah bentuk pengabdian.
Kami ingin profesi ini berkembang. Kami ingin organisasi yang responsif. Kami ingin ruang bicara, bukan hanya ruang rapat yang penuh formalitas. Kami ingin jadi pharmacist with purpose, bukan pelengkap di belakang meja kasir.
Harapan di Balik Kegelisahan
Tapi jangan salah. Apoteker kalcer bukan hanya pengeluh.
Kami bikin komunitas. Kami edukasi publik lewat Reels. Kami adakan webinar, ikut hackathon, dan pelan-pelan merancang ulang masa depan. Kami mulai percaya: kalau sistem ini nggak ramah buat kami, mungkin memang kami yang harus bikin sistem baru.
Bukan untuk membelot. Tapi untuk bertahan.