Mohon tunggu...
Abraham Giatson
Abraham Giatson Mohon Tunggu... Bram

Penulis hasil dari pemikiran dan fiksi. Penulis ekspolarsi kesehatan mental, personal growth dan dan anak melalui cerita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Lunch Time Talk: Pujasera, The Chicken, and The CHOCO

14 September 2025   05:20 Diperbarui: 11 September 2025   14:53 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu, pujasera di lantai bawah gedung perkantoran bukanlah sekadar tempat makan siang. Itu adalah arena hidup yang bergemuruh. Meja-meja penuh dengan tumpukan piring kosong, sendok dan garpu beradu, dan hiruk pikuk percakapan yang tak ada habisnya. Aroma nasi hangat, bumbu rempah, dan minyak goreng yang baru digunakan menyelimuti udara, menciptakan kabut yang padat dan menggairahkan. Di tengah kekacauan yang terorganisir ini, empat orang duduk mengelilingi meja bundar yang sedikit usang, tampak seperti oasis di tengah gurun. Hanya para pelayan yang meliuk-liuk di antara keramaian, petugas kebersihan yang tekun menyapu remah, dan para kasir yang menatap tajam ke layar, yang menolak untuk beristirahat.

Seorang pria dengan sepatu kulit yang mengkilap bagai cermin dan rambut yang tersisir rapi tanpa cela, tampak seperti karakter utama dari film mata-mata, sedang mengunyah dengan tergesa-gesa. Ia menghentikan kunyahannya secara tiba-tiba, matanya menyala. "Uhuk!" Ia tersedak sedikit. Punggungnya tegap kembali, dan pandangannya mengunci ke arah piring di hadapannya. "Ini enak," katanya, suaranya pelan dan penuh misteri, seolah membisikkan sebuah rahasia besar. "Tapi aku tahu tempat lain yang... jauh lebih baik." Ia melirik sekilas ke arah teman-temannya, senyumnya menyeringai. "Pelayannya bukan sekadar ramah. Mereka tahu setiap rahasia di balik setiap hidangan. Dan piringnya... Ah, piringnya berbeda. Piring tebal dengan motif bunga-bunga yang dicat tangan."

Di seberangnya, wanita bertubuh besar itu, yang matanya selalu berbinar setiap kali melihat kata "ayam" di menu, langsung mendongak. Rasa penasarannya mengalahkan rasa cintanya pada ayam goreng. "Di mana itu? Apa mereka juga jual ayam?" tanyanya, suaranya bergetar dengan antisipasi. Baginya, ayam goreng bukanlah sekadar makanan. Ayam goreng adalah peta harta karun, dan ia akan melakukan apa pun untuk menemukan saus ekstra pedas yang sempurna.

Pria berjas itu mengangguk penuh makna, seolah membenarkan setiap kata yang diucapkan wanita itu. Ia memutar pandangannya, kini menatap seorang pria di sampingnya, seorang pria pendiam berbaju merah yang selalu menyembunyikan sebagian wajahnya di balik masker. Pria itu adalah teka-teki. Disiplin, tepat waktu, dan satu-satunya yang pernah ia katakan adalah, "Aku tidak akan pernah pulang terlambat, bahkan dari pekerjaan." Ia menyelesaikan gigitan terakhirnya, menelan, dan hanya memberikan anggukan. Sebuah anggukan yang terasa seperti persetujuan dari dewa petir.

"Ini bukan tentang ayam atau rasa saja," kata pria berjas itu, matanya berkilauan. Ia menyeka mulutnya dan mengeluarkan selembar kertas lusuh dari saku dalam jaketnya. "Setiap piring, setiap rasa, setiap tempat... adalah bagian dari petualangan. Piring bermotif bunga yang kuceritakan, itu bukan hiasan. Itu petunjuk pertama. Siapa yang berani bergabung denganku?"

Mata wanita berbadan besar itu membulat sempurna, ia melupakan ayamnya. Pria pendiam itu tetap diam, namun tangannya perlahan bergeser mendekati meja. Sementara itu, seorang pria lain, pecandu cokelat sejati, yang selalu bisa mencium aroma cokelat dari jarak jauh, memecah keheningan. "Apa mereka punya cokelat?" tanyanya lugu.

Pria berjas itu tertawa, suaranya riang dan penuh janji. "Pasti! Dan kamu akan tahu, cokelat itu akan menjadi kunci yang kita butuhkan untuk membuka pintu rahasia berikutnya."

Pujasera itu, yang semula tempat beristirahat, kini menjadi titik awal sebuah misi. Empat jiwa yang berbeda, terikat oleh satu hal---rasa ingin tahu yang luar biasa. Makan siang mereka bukan lagi rutinitas, melainkan awal dari sebuah petualangan seru yang tersembunyi di balik setiap hidangan. Misi ini baru saja dimulai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun