Mohon tunggu...
Abel Kristofel
Abel Kristofel Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa teologi di sebuah sekolah tinggi di Malang, tertarik dengan ontologi, epistemologi, sejarah, fenomena sosial, seni, logika, dan kopi. Hobi membaca, berdiskusi, dan bermain catur. Mulai menulis, dalam konteks akademik, di kampus dan jurnal, serta dalam konteks bebas di Kompasiana, Facebook, dan blog http://www.teologirakyat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pokemon Go: Mengenai "Ada" dan Kepercayaan Akan Tuhan

19 Juli 2016   11:06 Diperbarui: 20 Juli 2016   10:59 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harus diakui, Niantic mendapatkan sukses besar.  Usaha yang cukup besar semenjak tahun 2010 akhirnya mengantar John Hank, CEO dari Niantic Labs mendulang banyak apresiasi.  Dalam waktu tujuh hari, Pokemon Go berhasil mengalahkan jumlah download dari semua game ponsel yang pernah ada.  Tak hanya itu, dua minggu lalu saham Nintendo Co. masih jatuh pada angka 15.000 Yen.  Lewat seminggu, Nintendo menikmati kenaikan lebih dari 2 kali lipat.

Siapa yang tidak mengetahui derasnya animo para gen-X terhadap game ini?  Jangan-jangan, generasi baby boomers juga menikmatinya.  Saya sendiri melihat ledakan ini adalah akibat dari banyak faktor, mulai dari jenis Augmented Reality yang makin mirip kehidupan sehari-hari, kualitas gambar yang baik, persiapan pemasaran yang baik, dan tak lupa nama besar Pokemon itu sendiri.  Saya cukup yakin bahwa sebagian besar pengunduh game ini adalah penikmat kartun mingguan yang tayang ketika mereka masih SD.

Tak ketinggalan, Kepala UPT Jakarta Smart City Setiaji memanfaatkan fenomena ini untuk mengajak warga menikmati wisata malam Tugu Monas.  Mereka, bahkan, menggandeng Google dalam melaksanakan rencananya.  Ahok sendiri juga mengatakan bahwa ada banyak monster di Monas.  “Iya, katanya (monster Pokemon) yang paling banyak di Monas. Ha-ha-ha tapi enggak tahu deh," begitu kata Ahok.  Baca saja situs Kompas untuk mengetahui berita lengkapnya.

Beberapa topik mulai bermunculan guna meresponi game rawan adiksi ini.  Ada yang mempertanyakan mengapa game ini begitu meledak, bahkan sudah dinanti di beberapa negara.  Saya tahu benar bahwa ada seorang rekan yang install game ini dengan berkas asing karena pada waktu itu masih belum muncul di playstore.

Ada yang juga yang mulai membahas tentang dampak Pokemon Go terhadap anak-anak.  Sebagian menganggap bahwa aplikasi ini membawa dampak candu pada anak.  Alhasil, makin sering lah anak-anak kita menatap layar ponsel.  Bila sebelumnya para psikolog mencoba memberi peringatan untuk memisahkan waktu melihat ponsel dari waktu berkomunikasi dengan manusia yang dekat secara lokal, Pokemon Go justru mendorong penggunanya untuk berjalan sambil menatap layar.

Belakangan saya juga membaca tulisan tentang bahaya setan di balik Pokemon Go.  Yang ini kita lupakan saja.

Di luar itu semua, yang menarik perhatian saya adalah konsep Augmented Reality itu sendiri.  Ringkasnya, AR adalah sebuah integrasi antara “digital information with the user's environment in real time. Unlike virtual reality, which creates a totally artificial environment, augmented reality uses the existing environment and overlays new information on top of it.”[1]

Satu atau beberapa virtual entity (entitas virtual) diciptakan dan ditambahkan pada entitas fisik.  Caranya adalah dengan menangkap gambar dari entitas fisik tersebut lalu mengabungkannya dengan ikon-ikon virtual dalam sebuah layar digital.  Tentunya hal ini memerlukan tingkat pembacaan tiga dimensi yang tinggi.

Stop sampai di sini, karena saya bukan ahli teknologi.

Yang jadi soal, pengguna ponsel dengan fasilitas atau permainan AR akan menganggap bahwa entitas virtual yang ditampilkan di layar gadget mereka adalah bagian dari kenyataan.

Bagaimana ya menjelaskannya?  Saya akan coba menjelaskannya walaupun lambat seperti kura-kura seword.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun