Mohon tunggu...
Abel Kristofel
Abel Kristofel Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang mahasiswa teologi di sebuah sekolah tinggi di Malang, tertarik dengan ontologi, epistemologi, sejarah, fenomena sosial, seni, logika, dan kopi. Hobi membaca, berdiskusi, dan bermain catur. Mulai menulis, dalam konteks akademik, di kampus dan jurnal, serta dalam konteks bebas di Kompasiana, Facebook, dan blog http://www.teologirakyat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pokemon Go: Mengenai "Ada" dan Kepercayaan Akan Tuhan

19 Juli 2016   11:06 Diperbarui: 20 Juli 2016   10:59 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Misalnya begini, ketika anda masuk ke dalam sebuah ruangan dengan banyak sekali barang-barang.  Dari semua barang di dalamnya, anda membutuhkan senter untuk menuntun anda pulang.  Di dalamnya jelas ada senter.  Anda melangkahkan kaki, berjalan menuju senter yang anda lihat, lalu mengambilnya.

Pertanyaan saya: apa yang membuat anda mengulurkan tangan untuk mengambilnya?  Apakah itu dikarenakan oleh fakta akan eksistensi dari senter itu atau pengetahuan anda mengenai eksistensi senter tersebut?  Apakah anda maju dan mengulurkan tangan anda karena senter itu memang ada di dalam, ataukah karena anda melihat dan percaya bahwa senter itu ada di hadapan anda?  Dari sinilah saya bisa menyimpulkan bahwa apa yang menggerakkan manusia adalah kepercayaannya mengenai sebuah fakta, salah satunya adalah mengenai eksistensi dari segala sesuatu.

Lho, lalu apakah apa yang kita percayai mengenai sebuah fakta belum tentu dapat menggapai fakta itu sendiri?  Apakah semua yang kita percayai hanya akan sampai pada kesimpulan epistemologis dan tidak pernah sampai pada kajian ontologis?  Ribuan tahun, hal ini telah dibicarakan.  Para pemikir filsafat yang namanya pernah muncul di buku yang anda baca kemungkinan besar juga membahas hal ini.  Ketimbang memaparkan sejarah pemikiran mengenai itu, saya lebih berintensi menambah masalah dalam diskusi ini.

Masalah tersebut adalah fenomena Pokemon Go.  Augmented Reality makin membaurkan kesimpulan yang ingin dicapai.  Bulbasaur tidak ada di pertigaan.  Bulbasaur adalah realitas virtual yang ditambahkan dalam realitas yang sebenarnya.  Di pertigaan tersebut, yang ada hanya mobil, got, tiang listrik, dan lampu lalu lintas.  Tidak ada monster di situ.

Anak anda percaya bahwa ada bulbasaur di situ.  Saya tidak mengatakan bahwa anak anda percaya bahwa bulbasaur yang dia lihat dari ponselnya adalah monster sungguhan.  Dia tahu bahwa itu adalah AR.  Akan tetapi, ketika ponsel dimatikan, dia masih tetap membayangkan bahwa monster-monster aneh itu bertebaran di jalanan.

Sekali lagi saya tidak mengatakan bahwa otak anak anda tertipu dan menganggap monster-monster itu nyata.  Apa yang hendak saya nyatakan di sini adalah kepercayaan yang dihasilkan dari konsep yang tak terwujudnyatakan dalam realitas sudah cukup untuk membuat manusia bergerak dan menjalani hidup.


Kalau toh kepercayaan itu hanyalah mengenai pada entitas virtual, yang notabene dicipta, manusia tetap bisa menjalani hidup secara riil.  Apa yang penting adalah percaya akan eksistensi dari sesuatu walaupun sesuatu tersebut tidak terwujudnyatakan dalam dunia nyata.  Kepercayaan itu membuat kita bergerak, berlari, dan menjalani hidup.

Ini menggelitik para teis.[2]

[1] http://whatis.techtarget.com/definition/augmented-reality-AR

[2] saya bukan ateis.  Saya hanya seorang pemilik blog TeologiRakyat.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun