Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... petani.

Pikiran-pikiran radikal hanya mungkin dihasilkan oleh sunyi. Itulah kenapa pecinta literasi cenderung suka menyendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Genosida Kesunyian (Bagian Pertama/Bab 3)

22 Februari 2025   21:00 Diperbarui: 22 Februari 2025   21:00 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memandang berkeliling. Seperti anak kecil mencari perhatian. Sepi. Aku bersandar ke batang kelapa sambil mata tak lepas dari dapur rumah juragan. Menunggu panggilan. Bau ikan goreng dan sambal terasi yang tadi sudah menguap hilang. Seseseorang pasti telah selesai memasak. Menatanya pada suatu tempat tertentu, lalu Juragan akan keluar dari dapur, berteriak, "hei kau makhluk fana! Santaplah rezekimu hari ini. Jangan suka bercanda dengan maut anak kukang!" Itulah panggilan paling indah yang kudambakan.

Tapi tak ada yang memanggil. Aku nekat berdiri, berjalan acuh tak acuh kembali ke belakang, menuju dapur. Menyanyikan sebuah lagu yang berhubungan dengan rasa penasaran. Juragan sedang asyik memberi makan kambing-kambingnya. Ia menggeram ke arahku sambil mengacungkan sabit. "Mau apa kau kucing jinak?"

Aku berbalik dengan kesal. Terduduk di bawah pohon mangga. Memejamkan mata kuat-kuat. Aku menangis saking dongkolnya. Bagaimana bisa ada manusia begitu tak berperasaan? Bagaimana bisa di siang bolong, di bawah persaksian matahari, seorang miskin dibiarkan kelaparan sendirian? Terkutuklah semua orang pelit yang tinggal di bawah kolong langit! Semoga mereka didera penyakit sembelit tujuh turunan!

Pengalaman hari pertama membuatku berjaga-jaga. Pagi buta aku menanak nasi dengan air melimpah. Menaburkan sedikit garam dan kapur. Mengaduknya kuat-kuat agar nasinya cepat pecah. Aku sarapan diam-diam, menjumput sedikit bawang goreng sebagai penyedap. Memang tak ada pembicaraan tentang makan siang, teh manis, atau kue tertentu. Itulah keteledoranku. Kurang teliti.Tidak rinci. Seharusnya hal itu dibicarakan blak-blakan dari awal. Orang ini bukanlah dari golongan manusia pada lazimnya. Dia pernah menguliti seekor monyet gara-gara mengambil kulit pisang di bak sampahnya.

Aku merincikan sisa-sisa kekayaan yang ada. Tempat beras sudah terlihat dasarnya, garam tinggal satu genggam, bawang, dan ikan... ya Tuhan! Tentu saja. Sejak tadi aku seperti mencium bau menyengat dari suatu tempat. Aku bergegas ke dapur. Benarlah. Ikan- ikan itu sudah mati semua karena aku lupa membuka tutupnya. Cuaca panas dan hidup berdesakan pada wadah sempit ...inilah akhirnya. Aku membawa ember itu ke pinggir sawah dan menumpahkannya ke batang-batang jerami. Yang dari tanah kembali ke tanah. Jadilah kau sari-sari makanan bagi rumpun-rumpun padi malang ini, hei kerabat alam.

Mengapa aku tidak menjualnya saja tiga hari lalu? Aku lalai. Terlalu bersemangat dengan tawaran pekerjaan itu. Berpuluh hari tidak memegang uang, menyebabkan aku tenggelam dalam kealpaan. Terbius rencana-rencana besar yang ambisius. Angan-angan hidup yang selama ini belum kesampaian: gula, sedikit tepung, teh Goalpara... Ya, ya baiklah, aku harus belajar supaya lebih bijak. Bukan, bukan. Aku harus lebih jeli melihat kenyataan, menyambar setiap peluang begitu kelihatan. Itulah inti falsafah hidup orang sukses. Falsafah yang lebih dari cukup bagi seorang tolol sepertiku. Tentang kebijaksanaan biar kusisakan untuk kaum cerdik pandai. Soalnya kalau tak berpikir mereka tentu akan jadi pengangguran.

Dengan bekal tonikum bubur garam dan satu jerigen air, sumur besar itu bisa selesai dalam waktu kurang dari tiga hari. Aku melompat pada pekerjaan berikutnya. Membabat dan memangkas segenap rumput liar, mengangkutnya ke parit dengan lari-lari anjing hingga juragan tertawa terpingkal-pingkal. Kambing-kambing itu memandangiku keheranan dengan tatapan mata mereka yang dungu, pasrah, tapi penuh persahabtan. Orang bodoh memang mudah mendapatkan kawan, pikirku. Terutama dari kalangan hewan. Apakah orang bodoh bisa disamakan dengan hewan? Wah, jangan sampai...

Aku bekerja tanpa beban. Tanpa mengharap imbalan makanan apapun. Aku tidak akan tertipu lagi oleh harapan-harapan hampa, seperti yang dikatakan penyanyi yang patah hati itu. Ketika bintang pertama muncul di angkasa, barulah aku pulang.

Hari-hari berikutnya memang tidak ada lagi kelapa. Tapi aku selalu pulang dengan riang gembira. Ketika keringatku habis terkuras, ragaku seperti mendapat pencerahan. Semacam penunaian siklus alami yang membuatku jadi segar bugar dan bersemangat.

Beberapa orang menyisih cepat-cepat ketika berselisih jalan, seakan takut terseruduk sapi liar. Aku tidak peduli bagaimana nampaknya penampilanku. Aku tak peduli apa penilaian orang menyangkut diriku. Manusia itu selamanya tidak bahagia, karena terlalu banyak mengurusi kehidupan orang lain. Mereka sok bahagia untuk menutupi penderitaan batinnya. Mereka berlagak punya martabat mulia demi menyembunyikan kekerdilan jiwanya. Mereka bersikap murah hati terhadap segala sesuatunya, agar kemiskinannya tidak disoroti. Mereka memelihara sifat-sifat munafik ini karena menyangka bisa lolos dari rasa asing dan hampa. Di sinilah aku merasa lebih unggul dari mereka.

Kuakui, aku memang sering berdusta dan berpura-pura, tapi itu karena pertimbangan praktis. Tak sampai ke dalam hati. Bukan sifatku yang asli. Aku melakukan semua itu sebatas di permukaan. Sedang untuk hati nuraniku sendiri aku tak pernah melakukannya sama sekali. Itu haram kawan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun