Genosida Kesunyian
AR. Zanky
Bab III
Pasar itu terletak persis di simpang empat jalan. Buka sejak subuh sampai jam delapan. Jualan utamanya adalah unggas, segala macam ikan, juga sedikit sayuran. Pakaian sangat jarang diperjual-belikan karena termasuk barang langka. Di Kalahan, rata-rata orang hanya punya tiga lembar pakaian; untuk ke sawah, untuk di rumah, dan untuk menghadiri undangan. Mereka bisa mengenal satu sama lain dari warna pakaiannya, bahkan bila sedang bepergian ke pasar induk di kota kecamatan, di tengah kerumunan orang asing. Memang mereka punya ciri khas yang tiada taranya, yang sangat tidak cocok untuk ditiru, terutama menyangkut paduan warnanya. Tapi sudahlah, buat apa membicarakan model pakaian orang-orang ini. Mencabut selembar bulu ketek jauh lebih berfaedah kurasa.
Unggas-unggasan dijual paling dulu; burung, itik, ayam . Semua dijual sebelum matahari terbit. Kadang penjual dan pembeli yang sama bisa bertransaksi sampai lima atau enam kali untuk barang yang itu-itu juga. Itu tandanya si pembeli memang sayang dengan hewan peliharaannya. Tiap bertemu, mereka mengarang-ngarang cerita baru tentang asal usul unggas yang diperjualbelikan. Hal yang lazim terjadi pada orang yang akan menggelar hajatan.
Di Kalahan, orang yang akan mengawinkan anak, disumbangi dengan beragam unggas. Unggas-unggas ini diserahkan seminggu atau sepuluh hari sebelum acara berlangsung. Alasannya lugas dan sederhana; si penyumbang tak mau repot-repot memberi makan. Kalau sudah diserahkan, maka gugurlah kewajiban sebagai seorang warga yang baik. Tanggungjawab beralih pada si empunya hajatan. Dalam masa-masa tenggat inilah biasanya transaksi-transaksi gelap itu berlangsung berkepanjangan.
Berhubung tuan rumah tak punya cukup kandang, maka hewan-hewan itu dibiarkan berkeliaran di kolong rumah. Diberi kebebasan sejenak sebelum akhirnya masuk kuali dan wajan. Selama waktu itu, tentu saja si empunya hajatan tak bisa begadang terus-terusan. Dan seperti nabi Nuh, orang harus bertindak bijak; tak semua hewan itu bisa diselamatkan. Maka hanya yang besar-besar saja yang boleh dibawa ke rumah. Itulah peraturannya. Di sinilah kebijakan dan kebajikan orang-orang Kalahan diuji. Dengan cara biadab ini, sering si empunya hajatan harus menanggung nafkah beberapa keluarga sekaligus selama berhari-hari menjelang acara yang sebenarnya. hajatan perkawinan. Caranya, ya dengan jalan jual-beli yang berulang-ulang itu. Antara para maling dan empunya hajatan. Tapi tak mengapalah. Sebab semua orang toh akan mendapat giliran. Itulah nasib sial yang biasa disebut dengan lingkaran setan. Bahkan setan itu sendiri. Para maling bebas beraksi sesuka hati, dan si empunya hajat akan tetap menebus unggas yang dicuri itu berulangkali.
Aku duduk saja memperhatikan dari suatu sudut warung. Menyeruput teh seperlahan seekor kukang. Mengutil kue dengan hemat dan hati-hati. Aku tidak boleh boros. Setiap tetes air yang mengandung gula harus diresapkan seresap-resapnya. Setiap penganan yang mengandung tepung harus dicerna dengan penuh penghayatan. Tak setiap minggu aku bisa bermewah-mewah begini. Aku harus menghayati peristiwa ini dalam-dalam, agar di hari-hari mendatang mudah untuk dikenang.
Sementara tukang warung menatap kelakuanku penuh dengki. Ia terus mengincarku dengan berbagai bentuk intimidasi; mengaduk gula dengan suara berisik, membilas lap kotor dekat kakiku, menepuk-nepuk lalat berulangkali, berdehem-dehem sambil menahan dahak untuk kembali ditelan. Ia ingin membuatku jijik. Dia tidak tahu bahwa aku pernah menelan mentah-mentak ekor cicak yang putus dan jatuh ke gelas minumku.
Pada waktu yang sudah kuperhitungkan dengan cermat, kulempar piring kotor langsung ke bak cuci seakan sudah terbiasa melakukannya selama bertahun-tahun. Kujejalkan uang ke tangannya dan berlenggang pergi tanpa menunggu kembalian. Aku merasa sangat puas karena bisa mempermainkan si  Gombal Perca itu. Ya, betul, itulah nama yang pantas untuknya, gombal perca. Tambalan roknya jauh lebih compang-camping dari gambaran layar kapal bajak laut manapun.
Dari sudut mata kulihat si Gombal Perca membersihkan bekas mejaku, menggosoknya kuat-luat seakan sedang mengelupas karat. Lalu orang-orang yang sejak tadi berdiri di kejauhan, langsung berbondong memasuki warung layaknya gerombolan kuli lapar. Itulah dia, orang-orang terhormat Kalahan. Mereka yang dalam kegelapan bersikap gagah berani. Namun berubah jadi sekumpulan banci ketika harta bendanya dicuri terang-terangan.