Di Indonesia, fenomena brain drain ini ditandai dengan kaburnya banyak lulusan perguruan tinggi terbaik luar negeri yang lebih memilih untuk berkarier dan tinggal di Singapura, Amerika, dan negara Eropa lainnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, selama 2019-2023, jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang pindah menjadi warga Singapura hampir 1.000 orang per tahun. Tahun lalu saja hingga Oktober 2024, ada 978 orang yang melepas status WNI menjadi warga Singapura. Jumlah ini mayoritas berasal dari mereka yang lulus setelah menempuh pendidikan tinggi di luar negeri.
Sedangkan data Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi jumlah tenaga ahli di Indonesia hanya sebanyak 13 juta jiwa, atau dibawah 10 persen dari total 144 juta jiwa penduduk yang bekerja pada 2024. Sedangkan jumlah diaspora Indonesia yang berkewarganegaraan Indonesia hanya mencapai angka kurang lebih 5 juta orang (KPU, 2024).
Diaspora Baranusa merupakan generasi perantau yang tangguh mengarungi samudra, mencetak sejarah, dan mempertahankan tradisi "lawo tana" (kampung halaman) serta semboyan "kulli mate-mate aki tiwang lawo tana" (Apapun keadaannya jangan lupakan kampung halaman).
Sekitar 1.200 tahun lalu, orang-orang Banjar dari Kalimantan Selatan telah mengarungi samudra Hindia hingga mendarat di pulau Madagaskar, Afrika. Pelayaran antarbenua sejauh 7.600 kilometer ini kemudian membentuk koloni penutur bahasa austronesia dan budaya nusantara di pulau kecil di timur Afrika itu (Nature Saintific Reportase, 2016).
Begitupun orang-orang Baranusa, yang sejak ratusan tahun lalu telah mengarungi belahan bumi bagian selatan antara samudra Pasifik dan samudra Hindia untuk mencapai kepulauan Australia, Maluku, Sulawesi, dan Rote sebagai nelayan. Bahkan, ada kampung orang Baranusa di Rote saat ini.
Kebiasaan merantau yang dilakukan diaspora Baranusa juga dialami oleh orang Minangkabau sejak dahulu. Bahkan, Raja Sulayman yang dikenal sebagai pendiri kota Manila disebutkan sebagai perantau Minang. Raja Sulayman III (Raja terakhir Manila) berperang melawan Spanyol selama penjajahan Filipina pada abad ke-16. Hal ini diceritakan dalam disertasinya Mochtar Naim, seorang antropolog di University of Singapore (1979) yang mempelajari pola merantau orang Minangkabau.
Oleh sebab itu, gerakan "Baranusa Guo Bale" pada tahun 2025 ini menjadi momentum mudik secara nasional bagi orang-orang Baranusa ke kampung halamannya di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tentunya, bukan hanya diaspora Baranusa, tetapi siapapun orang Indonesia, bahkan manusia pada umumnya, memaknai mudik sebagai bentuk refleksi atas kerinduan, kecintaan, dan kepedulian terhadap tanah air dan kampung halamannya.
Hal ini sebagaimana ungkapan seorang ulama, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, bahwa: "Termasuk tabiat manusia adalah mencintai tanah air (kampung halaman) dan merasa akrab dengannya, sebagaimana ia merasa akrab dengan penduduknya, udaranya, airnya, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya."Â (Madarij As-Salikin, jilid 2, hlm 519).
Imam As-Suyuthi bahkan menyebutkan bahwa: "Sesungguhnya kecintaan terhadap tanah air (kampung halaman) adalah bagian dari fitrah manusia. Siapa pun yang tumbuh besar di suatu negeri, hatinya akan terikat dengannya dan mencintainya, meskipun ada negeri lain yang lebih baik darinya."(Husn Al-Muhadharah fi Tarikh Misr wal Qahirah, jilid 1, hlm 28)
Yang paling fenomenal adalah ungkapan Baginda Nabi Muhammad SAW yang tidak ingin meninggalkan Makkah tempat kelahirannya. Beliau mengatakan:Â "Demi Allah, engkau (wahai Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah dan bumi yang paling dicintai oleh Allah. Seandainya aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar." (HR At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, no. 3925, Ibnu Majah, no. 3108).