Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peran Keluarga, Ikhlas, Bersama, dan Tanpa Label

9 Oktober 2025   05:27 Diperbarui: 9 Oktober 2025   11:54 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia ini memang unik. Kita hobi sekali memberi label. Ada "bapak rumah tangga", ada "ibu rumah tangga", ada "suami takut istri". Bahkan ada juga label ajaib: "istri durhaka karena kerja di luar". Label-label ini dipakai seenaknya, seolah-olah rumah tangga adalah lomba voli, lengkap dengan posisi siapa tosser dan siapa spiker. Padahal kenyataannya, rumah tangga itu bukan pertandingan olahraga, tapi arena gotong royong.

Di media sosial, kalau ada foto suami lagi nyapu, netizen langsung heboh: "Wih, bapak rumah tangga tulen nih." Seolah-olah bapak yang nyapu itu makhluk langka yang harus diawetkan di museum nasional. Padahal logikanya sederhana: kalau lantai kotor, ya disapu. Kalau anak nangis, ya digendong. Sesederhana itu.

Label yang Membingungkan

Kenapa kita hobi sekali memberi stempel? Kalau istri bekerja di kantor: "Kasihan suaminya, nggak mampu menafkahi." Kalau suami rajin di dapur: "Kasihan istrinya, galak banget pasti."

Coba bandingkan dengan film World War Z. Brad Pitt, aktor kelas dunia, memerankan mantan agen PBB yang biasanya menghadapi konflik global. Tapi di rumah? Dia menyiapkan sarapan anak-anaknya, bantu istrinya mencuci piring, dan hidup tanpa pembantu. Coba bayangkan kalau ada versi Indonesia: zombie sudah gedor pintu, tapi bapaknya masih sibuk nyari sendok di rak dapur. Bisa jadi tagline baru: "Sebelum melawan zombie, lawan dulu cucian piring menumpuk."

Artinya jelas: peran di keluarga itu cair. Membantu bukan aib. Justru itu tanda rumah tangga sehat.

Cerita Pribadi: Sarung Pagi Hari

Saya sendiri pernah kena "label" lucu. Suatu kali, ada tetangga yang ditanya soal pekerjaan saya. Jawabnya polos tapi pedas:

"Nggak tahu tuh... saya pagi-pagi sudah berangkat, dia jam 9 masih pakai sarung. Jadi dukun kali ya dia..."

Teman saya yang lain malah menimpali dengan tawa: "Iya, mungkin spesialis dukun sarungan. Pasiennya ayam dan kucing tetangga."

Padahal, kenyataannya saya kerja di sektor swasta. Ritme saya berbeda. Kadang berangkat siang, kadang kerja dari rumah. Jadi kalau ada yang lihat saya masih pakai sarung jam 9 pagi, kesannya memang santai sekali.

Tapi dari gurauan itu saya sadar, masyarakat kita masih sering menilai peran orang hanya dari kostum. Kalau pakai dasi, dianggap sukses. Kalau pakai sarung sambil main dengan anak, langsung dicap pengangguran atau paranormal dadakan. Padahal yang penting bukan pakaian, tapi peran yang benar-benar dijalankan untuk keluarga.

Anak-anak Adalah Titipan, Bukan Beban

Sebagai orang swasta, saya justru lebih sering di rumah. Saat anak-anak masih kecil, kami biasa tidur sekamar berempat. Rasanya rumah seperti asrama mini---ramai, berisik, tapi selalu hangat.

Tengah malam, kalau ada anak nangis, saya bangun bikin susu botol. Sambil jalan ke dapur, sering saya merasa seperti superhero. Kostumnya bukan jubah, tapi kaos oblong belel dan sandal jepit. Apakah itu mengurangi harga diri saya sebagai ayah? Tidak. Justru di situlah letak kebahagiaan.

Dan bahkan sekarang, ketika saya sedang asyik menulis refleksi tentang peran keluarga, tiba-tiba si cantik Zee merengek, minta ditemani bersiap-siap sekolah. Laptop harus ditutup, pena berhenti sejenak, karena ada "prioritas kecil" yang nilainya jauh lebih besar. Deadline tulisan bisa ditunda, tapi rengekan Zee tidak bisa ditawar.

Kadang saya berpikir, anak-anak memang punya kuasa unik. Mereka bisa lebih galak daripada bos kantor atau dosen killer. Kalau telat lima menit, bisa langsung berubah jadi tangisan level konser dangdut. Tapi justru di situlah letak makna: anak-anak bukan beban yang menghalangi produktivitas, melainkan alasan utama kenapa kita berusaha. Mereka adalah titipan Tuhan, sekaligus pengingat agar kita tidak terlalu sibuk mengejar dunia sampai lupa mendengar suara kecil yang paling kita cintai.

Agama: Ikhlas Lebih Penting dari Gengsi

Dalam Islam, suami memang berkewajiban memberi nafkah. Tapi Rasulullah SAW sering membantu pekerjaan rumah. Jadi kalau ada suami cuci piring, itu bukan tanda dunia mau kiamat. Justru itu tanda rumah tangganya sehat.

Sayangnya, stigma sosial kita masih kaku. Kalau istri kerja kantoran, langsung ada bisik-bisik: "Kasihan suaminya, nggak mampu." Kalau suami belanja di pasar, langsung dikira kena guna-guna. Padahal rumah tangga itu soal tolong-menolong, bukan soal gengsi.

Psikologi Anak: Bukan Siapa, Tapi Ada

Anak-anak tidak pernah menilai: "Ayah, kamu bapak rumah tangga atau pencari nafkah?" Mereka hanya peduli: "Ayah ada nggak waktu aku butuh?"

Buat anak, kehadiran lebih penting daripada gaji. Mereka tidak peduli apakah baju ayah bau parfum kantor atau bau bawang dapur. Yang penting adalah pelukan, senyum, dan waktu bersama.

Sayangnya, banyak ayah lebih rajin nongkrong di pos ronda daripada nongkrong di ruang keluarga. Alasan klasik: "Ayah kan cari nafkah." Padahal sebagian "nafkah" itu habis buat kopi sachet di warung sebelah.

Fenomena Indonesia: Pembantu Lebih Dekat dari Orang Tua

Di luar negeri, rata-rata keluarga hidup tanpa pembantu. Semua dikerjakan sendiri: masak, nyuci, bersih-bersih. Anak-anak jadi mandiri sejak kecil.

Di Indonesia, kelas menengah justru merasa gengsi kalau tidak punya ART. Ada yang satu pembantu khusus masak, satu lagi khusus jaga anak. Ironisnya, anak malah lebih dekat dengan mbaknya daripada dengan ayah atau ibunya. Kalau mau belajar untuk ulangan, anak sering bilang: "Mbak, temenin belajar ya," ketimbang "Ayah, ajarin dong."

Ini satir sekaligus tamparan. Jangan sampai kita sibuk mencari uang untuk membayar gaji pembantu, tapi kita sendiri absen dari cerita masa kecil anak-anak.

Penutup: Buang Label, Simpan Ikhlas

Keluarga itu bukan perusahaan dengan struktur jabatan. Tidak ada direktur, manajer, atau staf. Yang ada hanyalah tim bernama keluarga.

Mau suami nyuci piring, mau istri kerja di kantor, mau anak bantu ngepel lantai---semua itu bukan soal gengsi, tapi soal kebersamaan. Semua dijalani dengan ikhlas, tanpa merasa terbebani.

Dan kalau masih ada yang nyinyir: "Eh, suaminya kok masak ya? Aneh deh." Jawab saja dengan santai:
"Iya, biar piringnya bersih dulu sebelum zombie datang."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun