Buat anak, kehadiran lebih penting daripada gaji. Mereka tidak peduli apakah baju ayah bau parfum kantor atau bau bawang dapur. Yang penting adalah pelukan, senyum, dan waktu bersama.
Sayangnya, banyak ayah lebih rajin nongkrong di pos ronda daripada nongkrong di ruang keluarga. Alasan klasik: "Ayah kan cari nafkah." Padahal sebagian "nafkah" itu habis buat kopi sachet di warung sebelah.
Fenomena Indonesia: Pembantu Lebih Dekat dari Orang Tua
Di luar negeri, rata-rata keluarga hidup tanpa pembantu. Semua dikerjakan sendiri: masak, nyuci, bersih-bersih. Anak-anak jadi mandiri sejak kecil.
Di Indonesia, kelas menengah justru merasa gengsi kalau tidak punya ART. Ada yang satu pembantu khusus masak, satu lagi khusus jaga anak. Ironisnya, anak malah lebih dekat dengan mbaknya daripada dengan ayah atau ibunya. Kalau mau belajar untuk ulangan, anak sering bilang: "Mbak, temenin belajar ya," ketimbang "Ayah, ajarin dong."
Ini satir sekaligus tamparan. Jangan sampai kita sibuk mencari uang untuk membayar gaji pembantu, tapi kita sendiri absen dari cerita masa kecil anak-anak.
Penutup: Buang Label, Simpan Ikhlas
Keluarga itu bukan perusahaan dengan struktur jabatan. Tidak ada direktur, manajer, atau staf. Yang ada hanyalah tim bernama keluarga.
Mau suami nyuci piring, mau istri kerja di kantor, mau anak bantu ngepel lantai---semua itu bukan soal gengsi, tapi soal kebersamaan. Semua dijalani dengan ikhlas, tanpa merasa terbebani.
Dan kalau masih ada yang nyinyir: "Eh, suaminya kok masak ya? Aneh deh." Jawab saja dengan santai:
"Iya, biar piringnya bersih dulu sebelum zombie datang."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI