Nasi Jagung di Era Rp15 Ribu
Program makan bergizi gratis selalu terdengar mulia di podium. Namun ketika masuk ke dapur, tiba-tiba angkanya jadi pelit. Bayangkan: Rp15 ribuan minus operasional. Artinya, sebelum nasi sampai ke piring anak sekolah, sebagian dana sudah "tersedot" untuk bensin, plastik kemasan, sampai markup sana-sini. Sisa uang itulah yang harus berubah jadi paket makan bergizi. Hasilnya? Bukan rendang, bukan ayam bakar, tapi nasi jagung dengan ikan asin tipis-tipis.
Rujak Cingur Butuh Filter Instagram
Generasi lima puluhan bisa bahagia dengan rujak cingur: pedas, asam, gurih, semua jadi satu. Tapi generasi now? Mereka butuh alasan tambahan untuk membuka mulut. Kalau tidak bisa difoto dengan estetik, makanan seenak apa pun tetap kalah pamor dengan minuman boba. Solusinya? Rebranding. Rujak cingur jangan lagi dipanggil rujak cingur, tapi "Exotic East Java Salad with Fermented Shrimp Paste". Baru deh layak masuk story IG.
Gethuk Singkong Naik Kasta
Gethuk singkong sejatinya kudapan rakyat. Tapi di tangan kreatif, ia bisa berubah jadi "Cassava Brownies Fusion". Bedanya hanya di plating: piring putih polos, taburan gula halus, mungkin tambahan topping cokelat. Harganya langsung melompat. Padahal bahannya sama: singkong rebus dan sedikit gula. Ironis, makanan yang tadinya dianggap kampungan harus dicat ulang agar diterima anak kekinian.
Papeda Jadi Smoothie, Tahu Tek Jadi Vegan Street Food
Begitu pula dengan makanan lain: papeda bisa dijual ulang sebagai "Sago Smoothie Bowl", lengkap dengan granola impor. Tahu tek dikemas ulang jadi "Vegan Street Food with Peanut Dressing". Dan nasi jagung diberi label "Organic Corn Rice Bowl, High Fiber, Low GI". Begitu selesai di-branding, anak muda rela antre. Bukan karena lapar, tapi karena ingin update story dengan caption, "Healthy lifestyle, support local food ."
Antara Kenyang dan Konten
Masalah kita sederhana: program makan ini bertujuan memberi gizi, tapi penerimanya sering lebih butuh gengsi. Anak generasi now kadang kenyang bukan karena karbohidrat, tapi karena likes di Instagram. Enak dimakan nomor dua, nyaman difoto nomor satu. Itulah hukum besi era digital.
Makanan lokal seharusnya tidak perlu dirias habis-habisan. Ia sudah cukup bergizi dan membanggakan. Tapi karena anggaran hanya Rp15 ribuan minus operasional, maka yang sampai ke piring bukanlah warisan kuliner, melainkan versi minimalis yang rawan jadi bahan olok-olok. Satirnya, mungkin suatu hari nanti gethuk harus punya akun IG sendiri, papeda butuh endorsement, dan nasi jagung harus bisa viral di TikTok --- kalau tidak, anak-anak akan lebih kenyang dengan validasi sosial daripada isi piring mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI