Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Joget Dulu, Bukti Menyusul ?

20 Agustus 2025   05:56 Diperbarui: 20 Agustus 2025   06:02 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nanti Dimainkan Angka Dong?"

Risiko gaming selalu ada. Obatnya sudah dikenal: indikator sedikit tapi tajam (hindari ratusan KPI yang justru membuka celah); gerbang mutu (hemat boleh, mutu layanan tidak boleh turun); audit & peer-review lintas lembaga (untuk menahan bias internal); serta malus/clawback (bonus ditunda hingga verifikasi final dan bisa ditarik jika "prestasi" terbukti palsu). Di panggung hiburan, publik membenci lip sync; di panggung politik, data terbuka membuat lip sync cepat ketahuan.

Kompensasi: Silakan---Asal Sesudah Kinerja

Tidak ada yang melarang pejabat sejahtera. Sama seperti penyanyi dan DJ: bayaran bagus kalau performanya bagus. Karena itu, setiap kali pejabat bicara "bukan gaji naik, hanya kompensasi", selipkan tiga hal di kalimat yang sama: syarat pencairan yang terukur, angka dan dampak fiskal yang jernih, serta mekanisme cek publik. Barulah "joget anggaran" terasa ikut menggerakkan penonton, bukan menginjak dompetnya.

Panggung yang berhasil bukan diukur dari mahalnya lampu, melainkan berapa banyak kaki yang ikut bergerak. Politik pun begitu: ujungnya angka kemiskinan turun, antrian layanan pendek, kepercayaan naik. Pegang satu kaidah: gaji untuk tugas, bonus untuk bukti. Bila irama hasil sudah mengalun, silakan joget---bonus pantas menyusul. Bila irama masih sunyi, jangan minta penonton angkat tangan---mengangkat belanja harian saja sudah berat.

Jika anggota DPR bisa berjoget sendiri tanpa rakyat mengikutinya, itu bertentangan dengan nilai, etika, dan empati. Di tengah rakyat yang galau, joget itu menyakitkan. Dan bagi para pemuda yang masa depannya menggantung karena sempitnya lapangan kerja, joget itu seperti pesta tertutup---mereka bersulang di dalam, rakyat antre di luar. 

Buktikan dulu, baru berjoget. Kalau ritme hasil benar-benar terdengar, rakyat akan ikut---tanpa diminta. 

(sebuah renungan dari scroll jari di TikTok)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun