Mohon tunggu...
AM Werosengngeng AlMurtadha
AM Werosengngeng AlMurtadha Mohon Tunggu... Abdul Mujib, Mahasantri Pesantren Khatamun Nabiyyin Jakarta, sekaligus Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta.

Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, setiap waktu adalah belajar._

Selanjutnya

Tutup

Hukum

sejarah pemilu dan urgensi pengawasan hukum di indonesia

6 Juni 2025   09:52 Diperbarui: 6 Juni 2025   09:52 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Pemilihan umum bukan sekadar serangkaian prosedur administratif, melainkan fondasi utama yang menentukan arah perjalanan bangsa. Melalui panggung pemilu, rakyat menjalankan hak kedaulatannya untuk memilih siapa yang akan memegang kekuasaan dan meracik kebijakan publik. Oleh karena itu, sejauh mana kualitas penyelenggaraan pemilu mencerminkan kualitas demokrasi? Seringkali---terutama dalam beberapa dekade terakhir---makna mulia ini tergerus menjadi sekadar ritual lima tahunan yang dipenuhi euforia sesaat dan perdebatan berkepanjangan.
Pemilu 2024 adalah contoh paling baru bagaimana demokrasi kita di ujung tanduk. Alih-alih menjadi momen konsolidasi politik, proses tersebut justru diwarnai konflik hukum, tarik-ulur kewenangan antarlembaga penyelenggara, dan tudingan pelanggaran etika serta netralitas. Semua ini menegaskan bahwa kerentanan pemilu kita bukan hanya pada sisi teknis, tetapi terutama pada aspek pengawasan hukum yang seharusnya menjadi benteng utama integritas.
Rekam jejak pemilu Indonesia bermula pada 1955, ketika bangsa baru merintis demokrasi parlementer dengan segala idealismenya. Pemilu pertama itu terjadi hanya sepuluh tahun setelah kemerdekaan, dilaksanakan dalam dua tahap---menentukan anggota DPR pada 29 September, lalu anggota Konstituante pada 15 Desember---dengan semangat Luber-Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil) (DetikNews, 2023). Ratusan partai politik berlomba menampilkan visi mereka, menandai pluralitas yang tinggi. Namun, semangat ini terhenti ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membubarkan Konstituante dan DPR hasil pemilu, lalu mengembalikan UUD 1945 tanpa persetujuan legislatif. Sekejap, demokrasi parlementer beralih menjadi Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan presiden meredam peran parlemen dan semangat multipartai (Komisi Pemilihan Umum, 2023).
Pada era Orde Baru, pemilu tetap digelar setiap lima tahun, tetapi fungsinya berubah menjadi legitimasi semu bagi rezim otoriter. Hanya Golkar yang benar-benar berdaya, sementara oposisi dan pengawasan publik dikecilkan. Lembaga-lembaga pengawas tak mempunyai independensi, sehingga setiap pelanggaran---mulai manipulasi data hingga tekanan terhadap pemilih---nyaris tidak pernah mendapat penanganan serius. Hukum pemilu diselewengkan demi menjamin kemenangan rezim, membuktikan bahwa tanpa pengawasan hukum yang tulus, pemilu bisa dimanfaatkan untuk memperkukuh kekuasaan tiran.
Setelah keruntuhan Orde Baru pada 1998, atmosfer demokrasi kembali mengembang. Undang-Undang Pemilu berulang kali direvisi, sistem multipartai hidup kembali, dan lembaga pengawas mandiri seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk untuk mengawal integritas pemilu (Bawaslu, 2022). Sejak Pemilu 1999, transparansi dan akuntabilitas dibawa ke permukaan, meski tantangan tetap besar: manipulasi data, politik uang, intimidasi pemilih, serta tarik-menarik kepentingan politik membuat proses pengawasan hukum berjalan di tengah tekanan.
Dalam praktiknya, pelanggaran pemilu terbagi menjadi tiga ranah utama: administratif, pidana, dan etik. Pelanggaran administratif---seperti kelalaian logistik atau kesalahan prosedur---biasanya mendapat sanksi cepat, meski kadang hanya berupa teguran. Ketika pelanggaran masuk ranah pidana, misalnya politik uang atau intimidasi pemilih, penindakan sering terhambat oleh alasan teknis atau minimnya bukti kuat (Tempo, 2023). Sementara pelanggaran etik, yang ditangani DKPP, cenderung dianggap tidak terlalu merugikan hasil akhir sehingga sanksinya jarang efektif.
Kelemahan kelembagaan juga kian nampak. Bawaslu, meski independen di atas kertas, kerap dianggap hanya mencatat pelanggaran, bukan menindak secara tegas. Mahkamah Konstitusi terbatas memeriksa sengketa hasil, tidak menangani proses secara keseluruhan. DKPP hanya bisa memberikan sanksi etik kepada penyelenggara, bukan peserta pemilu. Akibatnya, ruang abu-abu muncul: begitu banyak pelanggaran tumpul di pinggiran sistem, sementara para pelaku besar bisa lolos dari jerat hukum. Tekanan politik terhadap lembaga pengawas membuat keberanian institusi ini mengambil tindakan tegas kian lemah, terutama bila berhadapan dengan elite berkuasa. Di sisi lain, kemajuan teknologi digital membawa tantangan baru. Media sosial dan aplikasi pesan instan menjadi ladang subur bagi disinformasi, propaganda, dan ujaran kebencian. Hoaks yang beredar masif menjelang pemungutan suara dapat membelokkan persepsi publik dalam hitungan jam, kadang tanpa kesempatan klarifikasi (Kompas, 2024). Praktik politik uang pun kini semakin sulit dilacak karena menggunakan transfer digital atau voucher yang tersebar melalui aplikasi komersial. Tanpa regulasi yang adaptif dan infrastruktur investigasi yang kuat, wacana pengawasan hukum pemilu kerap tertinggal dari arus cepat teknologi politik.
Dengan begitu banyak kompleksitas---mulai lembaga yang terpecah kewenangan, penegakan hukum yang tidak merata, hingga disrupsi digital---pengawasan hukum pemilu seharusnya menjadi prioritas utama. Reformasi kelembagaan tidak boleh berhenti pada perubahan nama atau struktur, melainkan harus menjangkau akar masalah: memperkuat independensi, memperluas kewenangan, dan meningkatkan sumber daya manusia. Bawaslu perlu diberi kekuatan penindakan yang sesungguhnya, bukan sekadar rekomendasi. MK harus memiliki mekanisme mengecek proses, bukan hanya memutus sengketa hasil. DKPP harus diberikan ruang yang lebih luas untuk menjatuhkan sanksi tegas jika penyelenggara terbukti melanggar kode etik. Semua ini perlu didukung dengan anggaran memadai dan pelatihan profesional tingkat tinggi, agar lembaga-lembaga tersebut tidak hanya menjadi penonton dalam politik, melainkan aktor utama yang mencegah dan menghentikan penyimpangan.
Penegakan sanksi hukum yang adil juga menjadi ujian nyata. Kita sering melihat pelanggaran administratif atau etik hanya berakhir pada teguran simbolis, sementara pelaku pelanggaran pidana besar---apalagi jika berada di lingkar elite---luput dari tuntutan. Situasi ini menciptakan kesan impunitas dan merusak kepercayaan publik. Aparat penegak hukum, mulai kepolisian, kejaksaan, hingga hakim di PTUN dan MK, harus berani mengambil sikap merata dan bebas dari tekanan politik. Hanya dengan demikian, pemilu akan berjalan bukan sekadar sesuai prosedur, tetapi benar-benar adil bagi seluruh pihak. Selain itu, partisipasi masyarakat sipil dan peran media menjadi kunci. Organisasi masyarakat, lembaga pemantau independen, serta media massa harus diberi ruang untuk berfungsi sebagai "penjaga-penjaga" (watchdogs). Mereka memiliki tugas mendeteksi pelanggaran, mengekspos manipulasi, dan mengedukasi pemilih. Dalam era digital, kecepatan informasi sering disalahgunakan untuk memecah-belah, sehingga lembaga pengawas formal harus didampingi oleh publik yang aktif melaporkan dugaan pelanggaran. Negara perlu menciptakan mekanisme pelaporan yang responsif dan aman bagi pelapor, serta memastikan kebebasan pers untuk melakukan investigasi tanpa rasa takut.
Di tengah gegap gempita demokrasi elektoral yang dihelat lima tahun sekali, kita harus jujur bertanya: sejauh mana pemilu kita benar-benar mengutamakan keadilan? Ataukah hanya menjadi seremonial yang indah di permukaan, tapi menyimpan banyak sabotase di balik layar? Sejarah panjang sejak 1955 hingga Pemilu 2024 menunjukkan bahwa janji prosedural sering kali berjarak jauh dengan praktik riil. Meskipun kita mendengar narasi keberhasilan---partisipasi tinggi, proses berjalan aman, hasil diumumkan tepat waktu---banyak suara tak terdengar, pelanggaran tak terungkap, dan keraguan tak terjawab. Dugaan penyalahgunaan sumber daya negara, manipulasi informasi, dan ketidaknetralan penyelenggara kerap diabaikan dalam narasi resmi.
Tulisan ini disusun tanpa maksud merendahkan atau menantang pemerintah secara frontal. Sebaliknya, niat utamanya adalah menumbuhkan kesadaran bahwa demokrasi sehat hanya terwujud jika semua pihak mau dikritik dan di-awasi. Kritik dalam konteks ini adalah bentuk tanggung jawab warga negara yang cinta tanah air. Kita menantang sistem agar ia menjadi instrumen yang sesungguhnya menampung aspirasi rakyat, bukan alat semu untuk melanggengkan kekuasaan.
Pasca-Pemilu 2024, Indonesia berada di persimpangan penting. Apakah kita akan terus menerus menutup mata terhadap kelemahan pengawasan hukum, atau menjadikan momentum ini sebagai titik balik menuju demokrasi yang lebih substansial? Reformasi kelembagaan, penegakan hukum yang konsisten, dan keterlibatan aktif masyarakat---semua ini harus dipacu secara bersamaan. Hanya dengan demikian, suara rakyat tidak lagi sekadar angka di kertas, melainkan dasar yang kuat bagi pemerintahan yang jujur, transparan, dan akuntabel.
Akhirnya, tidak cukup kita puas hanya dengan retorika bahwa pemilu sudah berjalan sesuai prosedur. Mari kita bersama-sama bertanya: Apakah kita benar-benar menjaga integritas setiap tahapan? Atau sekadar membiarkan proses yang rapuh terus berulang? Jika kali ini kita serius menegakkan supremasi hukum dan membangun budaya politik yang bermartabat, demokrasi Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi akan tumbuh semakin matang dan berintegritas---menjadi teladan bagi banyak negara lain di kawasan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun