"Beneran, Mang. Saya belum sempat gantung diri. Baru mau, Mang. Tapi, keburu pingsan terlebih dahulu."
"Nya, heueh atuh. Mau gantung diri juga butuh tenaga. Sedangkan, maneh belum makan nasi sesuap pun. Tapi untungnya weh keburu pingsan." Tidak berhenti Pak Iman bersyukur dan menasehari Tabik yang tertunduk lemas di punggung Pak Iman.
Kembali ke masa kini.
Tabik yang merayakan hari raya tahun ini hanya dapat berdiam diri di pojokan kamar rumah Pak Iman. Tidak ada semangat untuk melakukan kegiatan. Bayang-bayang ibu dan bapak selalu tiba-tiba datang. Tidak peduli terhadap dirinya yang sedang malang.
"Tabik. Sini makan dulu opor ayamnya." Teriak istri Pak Iman dari dalam Rumah.
"Tong di kamar mulu atuh, Jang." disambung oleh Pak Iman.
"Ahad, tong waka makan. Ajak dulu itu si Tabik." Sambung Pak Iman menyuruh Ahad.
"Woy, Tabik... Cepetan-lah, Bik. Ini ketupatnya nanti keburu habis. Jangan dulu meneruskan tulisan cerpen-mu itu." Teriak Ahad kepada Tabik.
"Iya, Had. Tunggu dulu sebentar."
"Iya, sok. Sama urang ditungguin."
Akhir kata, cukup sekian tulisan Ketupat di Hari Raya. Aku Tabik memohon maaf apabila dari segi tulisan banyak typo dan dari segi alur cerita pantas untuk diolok-olok. Untuk cerita masa kecilku yang selanjutnya semoga bisa ditulis di hari raya tahun depan. Semoga kembali dengan peningkatan dari gaya bahasa serta ceritaan.