Mohon tunggu...
Abdulloh Jalaluddin Syah
Abdulloh Jalaluddin Syah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang yang punya banyak mimpi. tapi pas bangun lupa mimpinya tentang apa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketupat di Hari Raya

31 Maret 2025   00:51 Diperbarui: 31 Maret 2025   00:51 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Genap sudah 30 hari di bulan Ramadan tahun ini. Perkotaan dipenuhi kembali angin knalpot yang tertinggal dari para pemudik. Perkampungan berubah layaknya ibu kota provinsi yang padat dengan sorak sorai saling minta maaf. Jalan kota menjelma jalan desa. Pun sebaliknya jalan desa berubah menjadi jalan desa. Perang sarung setiap malam tarawih digantikan perang kembang api. Tulisan-tulisan keutamaan setiap malam di bulan Ramadan disunting dengan tulisan perayaan hari raya. Semua golongan dari si miskin, si Tengah bahkan si kaya saling berbahagia. Setiap individu baik yang taat aturan agama, taat aturan negara, inkar aturan agama, pemberontak negarakalangan pejabat hingga rakyat yang disuap, pembangkang agama, pengkhianat negaragolongan yang menjadikan "nasionalisme" sebagai pembungkam kritik, dan para penafsir 'demokrasi' menjadi 'demo harus dikerasi'. Semua bersuka cita, bersenandung ria lewat lagu 'selamat hari raya', sanak saudara bertukar sapa dan tagihan hari raya. Intrik politik, perbedaan kepentingan, selisih antar golongan lenyap ditukar dengan ucapan selamat disertai jingjingan ketupat.

Namun sayangnya, semua hal itu tidak berarti lagi bagi Tabik. Seorang anak yang ditinggal oleh ibu, bapak dan juga adiknya karena bencana alam tiga hari menjelang hari raya. Tiada sanak saudara, tidak ada sop iga, bahkan ketupat plus opor ayam pun yang tidak pernah alpa pun tidak akan ia makan di hari ini rasa-rasanya.

Setiap detik hidupnya selama tiga hari ini dipayungi kesedihan. Bahkan pernah di dua hari setelah meninggalnya para keluarganya, ia pernah berpikiran untuk menyusul dengan cara gantung diri, pikiran tersebut tidak hanya menjadi pikiran saja namun hendak ia lakukan. Tapi untung, saat ia sesaat sebelum menggantungkan dirinya dengan tali ia pingsan terlebih dahulu karena perutnya belum makan selama dua hari itu. Dan hal itu pun terlihat oleh Ahad. Seorang teman karib dan putera tunggal dari pak Iman. Salah satu sesepuh kampung dan juga adik dari bapak Tabik.

"Pak. Tolong, Pak. Tabik gantung diri memakai tali, Pak," teriak Ahad ke pada bapaknya. Ahad panik karena saat ia akan berkunjung untuk memberikan nasi plus lauk ke Tabik. Walaupun nasi dan lauk tesebut tidak pernah disentuh oleh Tabik walau sebiji nasi pun. Tapi Ahad tidak akan pernah menyerah untuk membuat Tabik mempunyai girah untuk menjalani hidupnya. Sebenarnya Tabik sendiri sudah disuruh dan dipaksa untuk tinggal bersama Ahad di rumah Pak Iman saja. Namun, setiap malam saat Pak Iman dan Ahad tertidur, Tabik pasti akan diam-diam kembali ke rumahnya.

"Yang benar kamu, Ahad? Jangan memainkan lelucon dengan nyawa orang lain, ya!" Hardik Pak Iman. Tidak percaya terhadap ucapan anaknya.

"Benaran, Pak. Kalau kata orang Sunda mah. Aslina, Sing Sung Sing Dem" Ahad mencoba meyakinkan bapaknya terhadap ucapannya tadi.

"Awas aja maneh kalau bohong, Ahad." Pak Iman tergesa-gesa untuk mengecek keponakannya yang sebatang kara itu.

Sesampainya di rumah Tabik. Pak Iman melihar Tabik yang setengah sadar sudah tergeletak di depan pintu kamar mendiang bapaknya.

"Astagfirullah, Tabik. Nanaonan maneh teh mau gantung diri? Sakahayang pisan bermain dengan maut teh?" Pak Iman memberedel keponakannya yang setengah sadar dari pingsannya dengan pertanyaan. Rasa khawatir sekaligus sayang terhadap darah daging kakaknya.

"Tidak, Mang" Jawab Tabik dengan kesusahan.

"Lain tidak tidak. Itu buktinya aya tali menggantung."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun