Mohon tunggu...
abdi fathonahab
abdi fathonahab Mohon Tunggu... Mahasiswa

Gemar berolahraga, menulis dan berbicara sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diam dan berdamai

15 Oktober 2025   18:36 Diperbarui: 15 Oktober 2025   18:36 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan selalu membawa kenangan bagiku. Di balik tirai jendela kamarnya, gadis itu duduk diam, menatap rinai air yang berlari di kaca. Hujan sore itu seperti mengantarnya kembali pada masa-masa putih abu-abu --- masa di mana hatinya berdegup karena satu nama.

Aku masih ingat betul bagaimana semuanya dimulai. Saat itu, ia baru memasuki kelas sepuluh. Dia duduk di barisan depan, sosok yang tampak sederhana namun mencuri perhatian sejak hari pertama. Belum sempat mengenalnya tetapi sudah banyak perbincangan yang mengatakan bahwa dia adalah lelaki yang dikenal pintar dan penuh tanggung jawab. Tapi yang membuatnya dihormati bukan hanya kepintarannya, melainkan karakter dan kepribadiannya yang matang untuk seusianya.

Dia bukan tipe remaja yang suka mencari perhatian. Ia menjaga dirinya dari lawan jenis, menjaga ucapannya agar tidak menyinggung, dan ketika sedang sibuk dengan kegiatan sekolah ia tak lupa menunaikan kewajibannya. Kesopanannya membuat guru-guru menyukainya, dan wibawanya membuat teman-teman menghormatinya.

Tak heran jika Dia dipercaya menjadi ketua kelas selama tiga tahun berturut-turut. Ia juga menjabat sebagai ketua dua organisasi sekaligus. Kedengarannya berat, namun ia menjalaninya dengan tulus, dengan cara yang membuat siapa pun di sekitarnya merasa nyaman. Ia bukan pemimpin yang berjarak, melainkan yang royal kepada teman-temannya. Ia suka membantu, ringan tangan, dan selalu tahu kapan harus serius atau bercanda.

Di antara banyak mata yang menaruh hormat padanya, ada satu pasang mata yang diam-diam menatap lebih lama dari yang lain --- mata milik Aku.

Awalnya, aku hanya mengagumi dari jauh. Tapi seiring waktu, kekaguman itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Satu kelas, satu arah jalan pulang, satu kegiatan ekstrakurikuler, dan satu hobi yang sama. Semua kebetulan itu membuat mereka sering bertemu, dan bagiku, setiap pertemuan terasa seperti anugerah kecil dari semesta.

Seringkali, saat latihan ekstrakurikuler, aku memperhatikannya cara berinteraksi dengan anggota lain, bagaimana ia memberi semangat kepada teman-temannya, atau sekadar tersenyum saat ada candaan. Bagiku, Dia bukan sekadar sosok lelaki, tapi juga cerminan ketulusan yang jarang ia temui.

Mereka sering berjalan pulang bersama, kadang tanpa banyak bicara, terkadang pula pembicaraan dimulai darinya membahas apapun yang terjadi dihari ini. Hanya langkah kaki yang bersahutan di koridor kelas hingga lorong jalan menuju parkiran. Dalam diam itu, aku merasa tenang dan aman jika berada didekatnya.

Namun seiring waktu, rasa itu menjadi beban manis yang berat. Tiga tahun berlalu, dan aku masih menyimpan semuanya rapat-rapat. Ia tahu dia terlalu baik, terlalu lurus, terlalu menjaga jarak. Mengungkapkan perasaan hanya akan merusak kenyamanan yang sudah ia nikmati selama ini. Maka ia memilih diam --- mencintai tanpa harus memiliki.

Hingga tiba masa kelulusan. Hari-hari terakhir di sekolah terasa hampa dan cepat berlalu perasaan campur aduk dan terbayang ini adalah momen terakhir untuk bertemu di sekolah. Aku sempat berpikir untuk memberinya surat kecil, sebagai penutup kisah yang tak pernah dimulai. Tapi ketika melihat ia sibuk mengobrol dan tertawa dengan teman-temannya, aku hanya bisa menatap dari jauh. Ia tahu, cinta yang tumbuh dalam diam sebaiknya juga berakhir dalam diam.

Namun semesta seolah belum ingin memisahkan mereka. Kita dipertemukan lagi saat buka puasa bersama, sedikit pembicaraan mengenai seleksi penerimaan mahasiswa baru kita saling bertanya kapan mendapatkan jadwal hari dan jam tes tersebut. Saat itu juga, aku terkejut mengetahui bahwa aku dan dia mendapat jadwal tes di hari dan jam yang sama. Hari H pun tiba akhirnya kita berangkat bersama. Sesampainya ditempat tes kita mengobrol cukup dekat cukup lama untuk pertama kalinya, --- membicarakan tentang rencana kuliah, masa depan, bahkan tentang kekhawatiran masing-masing. Aku menyadari betapa menyenangkannya berbicara dengannya tanpa harus menahan kata. Di sela percakapan itu, aku sempat menatap matanya, dan dalam sekejap, aku tahu --- rasa yang dulu kutahan masih sama, bahkan lebih dalam. Dengan pertemuan itu, aku jadi tahu lebih banyak tentang dia. Rumahku dengannya ternyata tak sejauh yang ia kira. Sejak hari itu, aku merasa seolah-olah takdir benar-benar sedang berpihak padanya.

Namun kenyataan berkata lain. Saat hasil pengumuman keluar, Nara dinyatakan lulus seleksi, sementara ia tidak.

Aku terdiam lama di depan layar ponsel sore itu, membaca pesan selamat darinya. Aku ingin mengirim pesan, tapi bingung harus menulis apa. Akhirnya aku hanya menulis, "semangat ya gii" dia pun membalas dengan kalimat sederhana, "siapp".

Mereka berdua masih sering saling berkabar walaupun hanya sebatas basa basi. Hingga suatu hari, sebelum benar-benar berpisah, kita menyempatkan untuk berolahraga bersama bersama teman-teman lama. Hari itu, tawa mereka pecah tanpa beban. Menceritakan berbagai hal yang telah dialami semasa putih abu-abu, entah suka maupun duka yang sudah terlalui. Setelah berolahraga, mereka semua makan siang di rumahku. Suasana hangat itu membuatku menyadari satu hal --- kadang, kebahagiaan bukan datang dari memiliki, tapi dari kesempatan untuk berbagi waktu bersama seseorang yang kita sayangi.Hari itu terasa seperti potongan kecil kebahagiaan yang dikirim semesta --- singkat, tapi cukup untuk disimpan selamanya. Setelah hari itu, mereka berdua semakin dekat. Namun kedekatan itu perlahan memudar seiring berjalannya waktu. Dia akhirnya diterima di universitas lain, di kota yang sama tetapi terasa sangat jauh. Kini, komunikasi mereka hanya sesekali --- lewat pesan singkat atau interaksi kecil disebuah aplikasi, sekadar tanda bahwa keduanya masih ada, walau sudah jauh.

Malam-malam kini terasa sunyi, tapi tidak lagi sesakit dulu. Ia sudah belajar melepaskan tanpa membenci, mencintai tanpa berharap kembali. Dia tetap menjadi sosok istimewa di hatinya, tapi bukan lagi pusat dari semesta kecil yang dulu ia ciptakan sendiri.

Kini, di depan cermin, ia menatap wajahnya sendiri. Ada senyum yang baru --- senyum dari seseorang yang telah berani melewati cinta yang tak pernah selesai.

Hatinya kini kosong, tapi tenang. Kosong bukan karena kehilangan, melainkan karena telah membersihkannya dari harapan yang tak pasti.

Ia menulis di buku hariannya, kalimat yang menjadi pengingat setiap kali rindu itu datang kembali:

"Beberapa orang datang bukan untuk tinggal, tapi untuk mengajarkan bagaimana cara mencintai tanpa kehilangan diri sendiri

Ada yang pergi tanpa sempat terikat

meninggalkan sunyi di antara detak

Namun aku belajar dari langit luas

bahwa tidak semua awan harus menetap

Air mata jatuh jadi doa yang tenang,

tak lagi kutahan pada genggaman kosong.

Hilang bukan berarti hancur,

kadang justru membuka ruang baru.

Kini kuletakkan beban di jalan waktu,

melepasmu tanpa lagi menoleh.

Merelekan bukan tanda kalah,

tapi keberanian memilih damai."

Dan di malam yang sunyi itu, aku menutup buku harianku. Di luar, hujan kembali turun. Tidak lagi terasa sendu, melainkan menenangkan. Karena kali ini, ia tahu:

Setelah semua yang berlalu, ia akhirnya berdamai dengan rasa rindu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun