Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sengkuni 2019, Sengkuni Menggugat!

18 Januari 2019   17:14 Diperbarui: 18 Januari 2019   18:56 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lakon teater berjudul "Sengkuni 2019" karya budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun dipentaskan. Berisi kritik-kritik terhadap penguasa, generasi milenial sekaligus mempertanyakan karakter Sengkuni dalam diri setiap manusia.

Pementasan yang disutradarai Jujuk Prabowo ini dibawakan Teater Perdikan nyaris selama tiga jam di Taman Budaya Yogyakarta, Minggu (13/1) malam. Rencananya juga dipentaskan di Surabaya, Malang, dan Jakarta.

Saya tidak akan membahas ceritanya namun saya akan membahas apa sih yang bisa didapat dari acara ini. Untuk pembelajaran kita bersama.

Saya mengira Mbah Nun membungkus ini dengan kelengkapan berfikir total terutama lingkup sedulur papat lima pancer. Beliau menggambarkan sengkuni layaknya darah kotor manusia. Kita bisa sebut saja nafsu amarah. Nafsu yang melekat dalam diri setiap manusia. Dan hanya bisa dikendalikan dengan pancer yakni kejernihan berfikir dan bersihnya hati nurani.

Plot pertama dimulai dengan adegan Sengkuni yang harus membunuh saudara- saudaranya dan adegan ini saya malah teringat cerita Uchiha Itachi di Manga Naruto. Ia berjuang untuk keselamatan bangsanya ( untuk banyak orang ) dengan mempertaruhkan pembunuhan saudaranya ( lebih mementingan keamanan negara daripada negara pecah perang ) sebab usut punya usut Ayah Itachi mau melakukan makar bubat peperangan yang berpotensi merenggut banyak nyawa.

Kemudian plot berganti dengan manusia yang bawa kayu buat menabuh semangat yang justru disitu semacam profokasi cara berfikir. Mbah Nun sepertinya mengajak kita untuk tidak menuding salah satu tokoh namun mencari perilakunya sehingga plot ini pun menggema bahwa sengkuni curang, sengkuni aniaya, sengkuni fitnah, sengkuni dzolim dan sengkuni tukang adudomba. Seperti yang lazim dipahami di maiyahan yakni mencari apa yang benar bukan siapa yang benar.

Plot beralih ke narator yang tiba-tiba ingin merubah alur mainstream cerita sengkuni. Kita masuk saja logika Negara kita. Seperti yang disampaikan dalam rubrik ReformasiNKRI, Bahwa Negara kita kelewat gagal faham kata Negara dan Pemerintah. Antara kata pemimpin, kata penguasa dan kata pejabat. Hal ini bisa kita simak di caknun.com rubrik ReformasiNKRI

Meskipun Negara kita memang demikian, CakNun selalu menggarisbawahi kebijaksanaan dalam hidupnya sehingga apa yang beliau tawarkan hanyalah cahaya ilmu yang beliau harap akan menjadi terang walau 3000 tahun mendatang sekalipun. Beliau sadar betul bahwa pertikaian caci makian di medsos tidak bisa direm namun beliau mengharap semoga jangan sampai ke tingkat yang lebih ngeri yakni terjadinya perang Pandawa dan Kurawa. Kita sebut saja begitu.

Plot beralih ke Sengkuni yang mendikte dan memproklamasikan diri sebagai Teroris dunia. Seperti yang ditulis oleh Noam Chomsky di bukunya " Pirates and Emperor" Istilah teroris muncul pada akhir abad 18 yang artinya merujuk pada tindak kekerasan yang dirancang pemerintah demi memastikan kepatuhan umum / mempertahankan dan menjaga suksesi rezim. 

Istilah ini pun dirasa tidak menguntungkan bagi pemerintah dunia rezim kala itu sehingga dengan mengandalkan propaganda media diselenggarakanlah atau disasarkan istilah "teroris" itu pada skala individu atau kelompok. 

Kita kini faham bahwa semua perilaku teror adalah tidak dibenarkan namun dibalik semua itu ada kepentingan yang saling bertarung dan ada agenda global yang bergerak. Desas desus sembilan naga juga dibicarakan sebagai bahan refleksi dan analisis.

Plot beralih ke Generasi Milenial dengan busana kekiniannya. Serasa ada kritik disitu dimana generasi milenial agaknya malas membaca, kurang berfikir lengkap, cekak dan gampang menuding kesalahan pada orang lain. 

Entah gerangan apa tiba-tiba saya teringat kata-kata beliau yakni Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat. Dari adegan ini saya melihat bagaimana arus globalisasi menggerus habis budaya setiap daerahnya. 

Padahal ayam, bebek dan sapi pun punya cara berekspresi yang berbeda. Kita sebagai manusia malah sibuk mempertentangkan pola ekspresi kita sendiri sambil mengakui budaya orang lain. 

Dalam bahasa sapaan pun kita kecele misalnya muslim dengan assalamu'alaikum namun pihak non muslim gak enakan kalau tidak jawab wa'alaikumsalam. Padahal nonmuslim punya bahasa sapaan sendiri. Kenapa kita malu menjadi diri kita sendiri ?

dokpri
dokpri
Plot beralih ke Obrolan politik. Gambaran klaim kebenaran atau pencitraan secara nyata dipertunjukan lewat ucapan, gerak gerik dan kostum. Mbah Nun menyadarkan kita bahwa kita jangan sampai mencalonkan diri tetapi kalau dicalonkan oleh rakyat itu lain. Kenapa? 

Sebab ketika kita mencalonkan diri atas dasar nafsu menguasai dan menjabat serta kehilangan sifat kepemimpinan maka ditakutkan Tuhan tidak ikut campur dengan perbuatan kita. Ini kan justru malah jadi kecelakaan besar sebab segala pertolongan dari Tuhan.

Sesi tanya jawab pun dimulai dengan penanya yang seolah-olah bertanya kepada Tuhan. Jika Tuhan bisa menciptakan kebaikan mengapa Dia tidak ciptakan saja semua manusia itu baik? Pertanyaan ini sama saja dengan bisakah Tuhan mencipatakan tuhan yang lebih hebat dariNya? Pertanyaan ini semestinya dijawab dengan salah satu sifat Tuhan yakni "Maha Semau Gue" Terserah Tuhan dong Dia mau apa kalau kita tidak setuju silakan cari bumi lain saja. Mondarr kita! Namun beliau menjawab dengan kebijaksanaan sehingga penanyapun lega dan gembira.

Kisah semut yang membawa setetes air untuk memadamkan api ketika Nabi Ibrahim As dibakar pun membuka cakrawala berfikir kita bahwa kita tidak dituntut untuk menang atau kalah tetapi kita dituntut mau berjuang apa tidak.

Diakhir acara beliau mengharapkan agar kita bisa mensyukuri apa saja pemberian Allah dan mau mau membijaksanai apapun saja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun