Dalam lakon pewayangan, kita sering kali menemukan cerita tentang rakyat kecil yang berani menggugat kekuasaan para raja. Almarhum Ki Hadi Sugito, seorang dalang legendaris gaya Yogyakarta, dengan apik, penuh humor, dan begitu renyah membawakan kisah-kisah seperti Bagong Dadi Ratu (Bagong Menjadi Ratu/Raja) atau Gareng Dadi Ratu (Gareng Menjadi Ratu/Raja).
Dalam lakon-lakon tersebut, sosok punakawan Bagong dan Gareng, yang merepresentasikan rakyat kecil, ternyata mampu mengguncang tahta para Pandawa, momongan sekaligus junjungan mereka sendiri. Bagong, yang naik takhta dengan gelar Prabu Kalasereng, dan Gareng yang ketika menjadi raja bergelar Prabu Pandupragolamanik, menggugat atas ketidakadilan yang mereka alami dari para Pandawa. Namun, gugatan mereka bukanlah untuk balas dendam, melainkan untuk menyadarkan junjungan mereka agar kembali ke jalan yang benar, yaitu jalan keadilan.Â
Demikian pula pada lakon lahirnya Wisanggeni, putra Raden Harjuna, sang panengah Pandawa. Wisanggeni, seorang anak yang sejak dalam kandungan ibunya, Dewi Dersanala, mengalami ketidakadilan dari para dewata. Wisanggeni, ketika masih anak-anak, dengan begitu berani mengobrak-abrik kahyangan untuk menuntut keadilan dari para dewa yang seharusnya menjadi pelindung, bukan malahan menjadi pelaku utama ketidakadilan. Wisanggeni, dengan bantuan perlindungan Sang Hyang Wenang, akhirnya berhasil menggugat Batara Guru dan kabinet dewata serta mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
Cerita-cerita pewayangan tersebut, yang hidup dalam narasi budaya kita, mencerminkan sebuah keyakinan bahwa kuasa rakyat memiliki kekuatan untuk menggugat dan mengguncang para penguasa. Keyakinan ini kembali bergema beberapa waktu lalu, ketika kita menjadi saksi gerakan rakyat di Kabupaten Pati (Jawa Tengah) yang pada 13 Agustus 2025 juga menggugat pemimpinnya. Mereka melakukan aksi massa untuk menyuarakan ketidakadilan yang mereka rasakan sebagai dampak dari kebijakan pemimpin daerahnya. Baru-baru ini, kita lihat bersama melalui media massa dan media sosial, beberapa wilayah lain juga mulai menyuarakan hal sama.Â
Ada satu pola sama yang dapat disimpulkan. Gerakan aksi rakyat menggugat, baik dalam cerita pewayangan di atas maupun di kabupaten Pati dan beberapa wilayah lainnya, semuanya berawal dari satu pemicu yang sama, yaitu ketidakadilan.
Gerakan rakyat atau yang sering disebut people power, merupakan manifestasi dari kedaulatan yang sedang bangkit. Gerakan rakyat ini bukanlah sekadar amarah sesaat, melainkan sebuah gerakan fundamental dari para pemegang kedaulatan yang ingin menagih janji para wakilnya yang duduk dalam lembaga pemerintahan. Dalam konteks kedaulatan rakyat, pemerintah sejatinya adalah perpanjangan tangan dari kehendak rakyat. Mandat yang diberikan melalui pemilihan umum bukanlah muncul dari harapan dan ikhtiar omong kosong, melainkan sebuah perjanjian masyarakat atau kontrak sosial yang mensyaratkan adanya pertanggungjawaban secara formal dan secara moral. Ketika perjanjian/kontrak itu dilanggar, misalnya melalui kebijakan yang tidak adil, korupsi, atau abainya wakil rakyat terhadap aspirasi pemilihnya, maka people power muncul sebagai gerakan koreksi secara alamiah. Gerakan rakyat adalah suara kolektif yang menuntut agar roda kekuasaan kembali ke jalur yang seharusnya: mengabdi sepenuhnya kepada rakyat, bukan kepada kepentingan segelintir elite.
Untuk memahami fenomena ini secara kritis, mari kita teroka dari sudut pandang teori legitimasi yang dikemukakan oleh Max Weber, yang berpendapat bahwa kekuasaan hanya bisa bertahan jika ia dianggap sah atau legitimate oleh rakyatnya. Dalam sistem demokrasi modern seperti Indonesia, legitimasi kekuasaan para wakil rakyat berakar kuat pada legitimasi rasional-legal, yakni melalui hukum dan prosedur yang sah seperti pemilu. Namun, ketika ketidakadilan terjadi, maka legitimasi ini akan terkikis. Gerakan rakyat muncul persis pada titik hilangnya kepercayaan ini, di mana rakyat merasa bahwa para pemimpin telah gagal menjalankan aturan main yang telah disepakati bersama.
Lalu, bagaimana terkikisnya legitimasi bisa memicu aksi kolektif yang disebut people power? Ada dua konsep penting untuk menjelaskan bagaimana sebuah ketidakpuasan berubah menjadi gerakan massa. Pertama, adanya struktur kesempatan politik (political opportunity structure), yaitu kondisi politik yang memungkinkan atau menghambat sebuah gerakan untuk muncul. Misalnya, adanya ruang bagi demonstrasi atau media massa yang bebas. Kedua, adanya kerangka pemaknaan (framing), yaitu cara gerakan tersebut memberikan makna pada suatu isu. Framing terjadi misalnya pada fenomena ketidakadilan yang dirasakan oleh individu kemudian "dibingkai" atau diberi makna kolektif, sehingga isu tersebut tidak lagi menjadi masalah pribadi, melainkan masalah bersama yang harus diperjuangkan. Kerangka pemaknaan inilah yang menyatukan berbagai elemen masyarakat untuk bergerak dan menuntut perubahan.
Bagaimana seharusnya people power yang ideal itu? Sebuah gerakan rakyat yang ideal tidak hanya secara pragmatis bicara tentang menghukum atau mengganti pemimpin, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu tentang memperbaiki sistem. Gerakan rakyat harus menjadi gerakan yang konstruktif, bukan destruktif. Gerakan rakyat yang ideal adalah gerakan yang terorganisir, fokus pada tuntutan yang jelas dan rasional, serta menjunjung tinggi prinsip non-kekerasan. Gerakan ini harus menjadi momentum refleksi bagi semua pihak: rakyat, yang belajar untuk tidak pasif dan harus selalu kritis terhadap wakilnya. Kemudian, bagi pemerintah dan wakil rakyat, gerakan rakyat merupakan gerakan pengingat bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Tujuan akhir gerakan rakyat bukan sekadar melengserkan, melainkan membangun tatanan politik yang lebih adil dan berintegritas.
Sebagai penutup, mari kita renungkan bersama bahwa esensi dari semua fenomena ini kembali pada satu keyakinan mendasar: rakyat adalah pemegang kedaulatan yang sejati. Wakil rakyat dan pemerintah adalah pelayan, bukan penguasa. Menjalankan peran masing-masing secara ideal bukanlah sekadar kewajiban politik, melainkan sebuah kontrak moral. Semuanya akan dipertanggungjawabkan secara adil, tidak hanya di hadapan konstitusi, tetapi juga di hadapan Yang Maha Kuasa pada hari penghakiman nanti.