Mohon tunggu...
Annisa R
Annisa R Mohon Tunggu... Mungkin Mahasiswa

Belum tahu mau menulis apa.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bukan Sarang Demit, Bambu adalah Sarang Air dan Pangan

5 Oktober 2025   23:50 Diperbarui: 6 Oktober 2025   00:00 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertengahan September lalu, untuk pertama kalinya sejak beberapa tahun, akhirnya saya menjejakkan kaki kembali ke Pesisir Sendang Biru, Kabupaten Malang. Di sana, saya ditunjukkan hal baru yang sebelumnya tidak pernah saya lihat: rerumpunan bambu yang tampaknya belum terlalu lama sengaja ditanam.

Ya, berbeda dari gerombolan bambu yang tumbuh berdesakan yang biasa saya lihat di desa saya, meski hanya sekilas karena saya seorang penumpang di motor yang melaju cukup kencang, tampak bahwa bambu-bambu itu ditandur dengan tertata dan rapi. Benar saja, sesuai kata rekan yang membonceng saya yang memang telah lama tinggal di sana, sehektar bambu itu memang buah kerja sama Yayasan Bakti Alam, Pusaka Indonesia, dan GKJW Jemaat Sendang Biru.

Kenyataan ini membuat saya terpikir bagaimana tanaman yang saking pentingnya, institusi keagamaan sampai turut langsung menanam. Akan tetapi di saat yang sama, anehnya, ia kerap diasosiasikan dengan keberadaan entitas hantu.

Anggun, Bukan Angker

Jika ada kontes "tanaman paling disalahpahami", mungkin bambu akan keluar sebagai juara. Rimbun bambu telah diturunkan dari generasi ke generasi sebagai hal macam-macam. Ada jenis yang dianggap sarang demit alias rumah hantu sehingga layak dijauhi. Meski sebaliknya, ada juga jenis seperti bambu kuning yang justru dikenal mampu menangkal demit itu tadi.

Ada pula yang mengatakan mitos-mitos itu sejatinya adalah upaya konservasi orang zaman dulu terhadap bambu. Yah, entah, lah. Yang jelas, ada hal-hal yang nyata dari bambu: bahwa ia bisa jadi jawaban dari krisis air dan pangan.

Bayangkan sebuah sistem tanpa mesin dan tanpa listrik, tetapi mampu bekerja terus menerus untuk mencadangkan air. Itulah bambu. Setiap rumpun bambu dewasa bak menara air mini yang mengelola siklus hidrologis dengan cermat. Akar-akarnya yang membentuk jaringan kompleks menciptakan terowongan-terowongan alami di dalam tanah, meningkatkan porositas tanah hingga 40% lebih baik dibanding tanaman biasa. Walhasil, kemampuan menyimpan air hingga 5.000 liter, mengurangi runoff yang merusak, sekaligus mengisi ulang akuifer alamiah.

Bagai bank air yang tak mengenakan biaya administrasi, saat musim hujan tiba, bambu bertindak seperti spons raksasa yang menyerap air berlebih, mencegah erosi dan banjir. Ketika kemarau datang, ia perlahan melepaskan cadangannya, menjaga mata air tetap mengalir dan tanah tetap hidup. Alih-alih angker, ini pengelolaan yang anggun, bukan?

Dapur yang Tak Pernah Luntur

Bahkan sejak bayi pun, bambu sudah memberikan manfaatnya. Saat pengelola negara sibuk mengurus impor aneka rupa bahan pangan, barangkali, mereka lupa akan makanan kaya serat ini: rebung.

Rebung bukan sekadar bahan tambahan untuk sayur lodeh. Dalam 100 gram rebung mentah terkandung paket nutrisi lengkap: hanya 27 kalori, 2,5 gram serat yang membantu pencernaan, 533 mg potassium untuk kesehatan jantung, plus segudang antioksidan yang melawan radikal bebas. Yang membuatnya makin istimewa adalah kemampuannya tumbuh tanpa memerlukan perawatan intensif---ia adalah sumber pangan yang rendah input lagi tinggi output.

Potensi kuliner rebung hampir tak terbatas. Dari rebung segar untuk capcai dan tumisan, isian lumpia, difermentasi untuk stok makanan panjang, diolah menjadi keripik rebung, hingga tepung rebung sebagai alternatif makanan pokok yang bebas gluten. Ketika makin terbiasa dijadikan penganan, tidak menutup kemungkinan inovasi baru akan terus terlahir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun