Gajah mati meninggalkan gading. Dari generasi ke generasi, peribahasa ini diajarkan sebagai pengingat bahwa warisan, jasa, dan jejak baik yang ditinggalkan seseorang akan terus hidup meski ia telah lama tiada.
Tetapi, nasihat bijak itu kini terasa seolah terbajak. Pada kenyataannya, secara harfiah, masihkah gajah mati secara alami lalu meninggalkan gading, atau justru sengaja dimatikan untuk dirampok gadingnya?
Di hutan Sumatra, gajah yang sudah tergolong kritis, kematiannya justru dipicu atas ketertarikan terhadap gadingnya. Spesies dengan nama latin Elephas maximus sumatranus ini diburu dan dirampok, bukan mati secara alami.
Itu perlu dihentikan. Akan tetapi, jika hanya berfokus pada mereka yang mengokang senjata dan memperjualbelikan hasil buruannya ibarat memotong ujung daun tanpa menyentuh akar penyakitnya. Lebih dari itu, ada kekerasan struktural yang pada akhirnya memungkinkan perburuan terjadi.
Kebijakan yang Tak Bajik
Meracun, memasang jerat kawat, membedil, dan memenggal kepala gajah untuk dipanen gadingnya, jelas adalah bentuk kekerasan langsung. Namun, setiap tangan itu digerakkan oleh jemari tak kasatmata bernama kekerasan struktural---sebuah konsep yang diperkenalkan oleh sosiolog Johan Galtung. Konsep ini merujuk pada kekerasan yang tertanam dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik, yang lalu menciptakan lingkungan merugikan bagi kelompok tertentu.
Diperkirakan hanya sekitar 1.100 ekor gajah yang tersisa di seluruh Sumatra. Itu, pun, hidup terpecah-pecah dalam 22 lanskap berbeda. Ini menunjukkan bagaimana setiap gajah dipaksa untuk hidup seakan sebagai penyusup di tanah leluhurnya sendiri.
Bagaimana tidak? Hutan senantiasa dibelah, difragmentasi oleh kebijakan alih fungsi yang secara historis dan terus-menerus mengorbankan koridor hidup gajah untuk permukiman dan perkebunan monokultur seperti sawit. Ketika terjadi tumpang tindih antara keduanya, maka, konflik pun tidak terelakkan.
Kegagalan memandang gajah sebagai sesama makhluk hidup dengan manusia membuahkan pandangan bahwa mereka pengganggu belaka. Saat itulah, kehadiran mereka disetarakan dengan hama dan kematiannya hanyalah konsekuensi logis dari pembangunan. Benar bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan kebutuhan tempat tinggal dan ekonomi warganya, tetapi, menjadi miris ketika solusinya adalah dengan menyerobot ruang hidup gajah yang telah lebih dulu tinggal, meski tidak membayar pajak.
Perburuan, pun, seakan mendayung sekali, dua tiga pulau terlampaui: memberantas yang dianggap hama sekaligus mengambil gading yang bernilai jual tinggi. Data antara 2010 hingga 2022 yang dihimpun Auriga Nusantara, menunjukkan setidaknya 183 individu ditemukan mati, dengan 33 di antaranya menunjukkan tanda jelas bahwa mereka diburu untuk diambil gading dan calingnya.
Bagi beberapa orang, gading yang bisa laku hingga puluhan juta itu seakan menjadi jawaban dari ketimpangan ekonomi yang terstruktur: ketika sistem yang tidak adil mempersempit pilihan mata pencaharian, mengekstraksi gading gajah adalah cara untuk terus mengepulkan dapur rumah. Bagaimanapun, tidak sedikit yang meminati. Entah untuk alasan estetika, kesehatan, maupun spiritualitas.