Ibu Ana. Ibu berkerudung merah muda yang selain karena tindakannya, rupanya juga mencolok di antara barisan polisi. Kontras ini kemudian membuat warna merah muda diadopsi menjadi simbol warna baru resistensi---bersama dengan warna hijau dari Affan, pengemudi ojek daring yang meninggal dilindas rantis Brimob, menemani biru tua yang sudah berusia setahunan.
Sejak mula kemunculannya, hingga hari ini, Ibu Ana masih terus diperbincangkan. Awalnya semua narasi adalah kekaguman. Namun, sedikit kedamaian itu harus rusak, disusul beredarnya video hasil pemalsuan dalam (deepfake) yang menampilkan Ibu Ana seolah meneriakkan kalimat-kalimat yang tak pernah ia nyatakan saat menjadi bagian dari pendemo.
Banyak yang termakan dan balik menggunakannya sebagai senjata untuk menegasikan Ibu Ana atau keresahan-keresahan yang pernah ia kemukakan. Banyak yang kemudian menyebut tidak sudi diwakili oleh orang yang masih sakit hati perkara pilpres yang sudah lewat lebih dari setahun.
Akan tetapi, tidak sedikit yang berusaha meluruskan bahwa video yang beredar tak lebih dari hasil kejahilan manusia. Ini sebenarnya cukup jelas, karena video dari sudut sama dengan kata-kata sang ibu yang berbeda, telah beredar beberapa hari sebelum versi gubahan diramaikan. Beberapa detail seperti warna separator jalur bus TransJakarta juga tampak tidak konsisten di video di mana Ibu Ana menyebut nama capres lain itu.
Pun, mulai banyak yang turut mempermasalahkan penggunaan kata-kata Ibu Ana dalam berdemo yang dianggap tidak sopan. Dengan ini, makin banyak yang mulai menggaungkan enggan menokohkan orang yang tidak santun.
Masih, banyak yang memberikan perlawanan pada narasi ini. Warganet mengambil contoh bagaimana Ibu Sumarsih yang rutin melakukan Aksi Kamisan, tidak pernah berkata kasar dalam tuntutannya, juga tidak pernah benar-benar didengar. Bahkan, ketika tahun ini aksi telah mencapai usia ke-18 dan kejadian yang diminta akuntabilitasnya telah berumur 27 tahun.
Yang teranyar, semalam saya mendapati narasi bahwa keponakan ibu ini menyatakan untuk mohon dimaklumi amarah budhe-nya itu sebab ia adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Terlepas kebenarannya, kemudian makin ramai didengungkan bahwa tidak layak menganggap nyata omongan ODGJ. Orang tidak waras, kok, didengarkan. Begitu sebut mereka.
Oke, katakanlah, benar bahwa Ibu Ana adalah ODGJ. Lantas?
ODGJ bukan sinonim dari gila. Pun, juga tidak sebaiknya sembarangan menuduh orang dengan kata "gila". Apalagi, jika secara profesional tidak berhak. Itu hanya akan menyulitkan orang untuk mendapatkan pertolongan dan memperburuk keadaan.
Kembali, mengutip dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, ODGJ adalah spektrum. Ia di antaranya meliputi gangguan cemas, depresi, kondisi-kondisi yang memengaruhi suasana pikiran seperti bipolar. Kita bisa melihat, bagaimana tokoh publik yang telah mengumumkan mengidap bipolar seperti Marshanda, tidak kemudian kehilangan nalar dan logikanya. Terutama, ketika mendapatkan pengobatan yang tepat dan dikelola dengan selayaknya. Ia sepenuhnya mampu bertutur kata dengan tertib, bahkan sanggup menjadi motivator bagi sesamanya dan mereka yang merawatnya.