Katakanlah, benar bahwa Ibu Ana adalah ODGJ. Lantas, sudahkah ia memperoleh perawatan yang seharusnya?
Sebab katanya harap dimaklum beliau adalah ODGJ, sehingga amarahnya meledak menyaingi letupan gas air mata---maka, sudahkah ia bisa mengakses layanan kesehatan yang merupakan haknya, secara mudah dan terjangkau? Agar yang mereka sebut gejala gangguan jiwa itu, tidak termanifestasi menjadi tindakan di muka umum?
Jika benar dan belum. Kok, bisa? Susah, kah? Mahal, kah? Jika berobat, apakah ada peran di rumah yang jadi terbengkalai karena mau tidak mau ia harus kerjakan?
Yah, tidak perlu dijawab dengan mulut, tampaknya kita tahu jawaban muara dari itu semua.
Serta kita, sebagai masyarakat: sudahkah berhenti mempertebal stigma terhadap ODGJ jika memang ingin mereka dapat beraktivitas dengan baik-baik saja? Jangan sampai, kita tidak sadar ada darah di tangan kita, hanya karena sengaja menolak untuk berpikir secara adil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI