Mohon tunggu...
Annisa R
Annisa R Mohon Tunggu... Mungkin Mahasiswa

Belum tahu mau menulis apa.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Gajah Mati karena Gading: Membaca Ulang Peribahasa di Tengah Krisis Kepunahan

2 Oktober 2025   08:00 Diperbarui: 2 Oktober 2025   08:00 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seekor gajah sumatra. (Sumber: Wikimedia/Lodras)

Seringkali, mereka bukan warga yang telah tinggal secara turun temurun di sana. Tapi, hei, jika ada yang membeli, kenapa tidak? Menjadi pemburu acapkali bukan semata-mata pilihan moral. Jerat dan racun yang disebar di hutan tidak lain adalah perpanjangan tangan dari jerat kemiskinan dan racun ketiadaan pilihan, ditemani kebijakan hukum yang tidak adil dan lemahnya penegakan, serta kebijakan tata ruang yang menempatkan manusia sebagai tokoh utama.

Wujud Termutakhir Perdagangan Gading

Meskipun kampanye dan larangan telah menunjukkan penurunan permintaan, masih ada kelompok pembeli yang persisten, yang menunjukkan kompleksitas dalam mengubah perilaku konsumen. Maka, jangan lagi dibayangkan transaksi jual beli gading melulu di tempat sempit, becek, dan tersembunyi. Ia kini terjadi di tempat yang amat terbuka, sama seperti di mana Anda membaca tulisan ini: internet.

Selama satu dekade terakhir, perdagangan satwa liar di Indonesia telah bergeser dari pasar fisik ke platform digital, yang dipercepat oleh pandemi COVID-19. Sebuah publikasi oleh Fidelis Eka Satriastanti dan Lusia Arumningtyas di 2023 mencatat bagaimana sepanjang 2022, terdapat 996 iklan satwa liar ilegal di platform Indonesia, dengan gading gajah menjadi barang yang paling banyak diperdagangkan. Di Facebook, ia disamarkan dalam beragam kode guna mengelabuhi panduan platform, misalnya, "pipa gg" untuk merujuk pada cerutu pipa yang terbuat dari gading gajah.

Struktur kekerasan yang sama---yang memandang gading semata-mata sebagai komoditas---kini memakai baju baru: algoritma. Kemudahan akses ini tidak hanya memperluas pasar secara eksponensial, tetapi juga secara halus nan pasti mewajarkan kejahatan terhadap alam di ruang publik. Platform teknologi, yang seharusnya menjadi penopang kemajuan, justru menjadi amplifier dari kekerasan struktural yang telah berlangsung lama.

Meninjau Kembali Peribahasa

"Gajah mati meninggalkan gading" dalam realitas hari ini telah direduksi menjadi logika pasar yang kejam. Warisan dari kearifan gajah kini malih dianggap simbol keperkasaan dan kekayaan manusia yang mampu mengoleksinya. Gading dianggap objek mati yang nilainya dianggap melebihi pemilik sejatinya.

Inilah pembalikan makna paling tragis yang dihasilkan oleh struktur yang salah: gajah mati karena gadingnya, sebuah proses yang didorong dan dimungkinkan oleh sebuah struktur sosio-ekonomi-politik yang melihat segala sesuatu, termasuk kehidupan, sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan dan dieksploitasi.

Peribahasa lahir dari pengamatan, pengalaman, dan cerita dari generasi ke generasi, yang disuling menjadi frasa-frasa ringkas dan mudah diingat yang menyampaikan kebijaksanaan, nasihat, atau kebenaran budaya melalui tradisi lisan.

Namun kini, tanpa disadari, peribahasa perihal gading gajah tidak lagi mencerminkan kemuliaan yang dimaksudkan saat ia dilahirkan dahulu kala. Ia telah menjadi ironi dari cara pandang yang sakit: sesuatu yang tidak lahir tiba-tiba, melainkan dibentuk dan terus diperkuat oleh struktur yang merusak.

Menulis Masa Depan

Jika akar masalahnya adalah struktural, maka solusi yang sesungguhnya dan berkelanjutan, pun, haruslah bersifat struktural. Menangkap pemburu individu, sementara penting sebagai penegakan hukum, hanyalah ibarat memberi plester pada luka yang telah menginfeksi hingga ke tulang. Ini tidak akan menyembuhkan penyakitnya.

Korupsi memiliki andil besar dalam menjadi fasilitator utama perdagangan ilegal. Sulit membayangkan jaringan kriminal memungkinkan beroperasi tanpa hambatan, bahkan mampu memasukkan gading ilegal ke pasar legal, jika tidak ada korupsi terjadi. Maka, memperbaiki struktur dengan kebijakan yang memprioritaskan keseimbangan ekologi adalah kewajiban mutlak. Bukan sekadar sertifikasi-sertifikasi yang hanya mengesampingkan rasa bersalah saat mengonsumsi produk-produk hasil hutan tanaman industri.

Mengatasi krisis ini membutuhkan pendekatan holistik yang tidak hanya menargetkan pemburu di lapangan, tetapi juga membongkar akar korupsi dan mengurangi permintaan gading secara efektif. Penegakan hukum harus diformulasi ulang, secara strategis merobohkan seluruh jaringan, termasuk perdagangan ilegal dari hulu ke hilir. Bahkan jika perlu, dengan menuntut akuntabilitas platform digital. Sebab, bagaimanapun, secara tidak langsung mereka telah memfasilitasi transaksi-transaksi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun