"Ya, pantaslah. Memang aplikasi kandang monyet!"
Frasa "aplikasi kandang monyet", yang mana merujuk pada TikTok, sering digunakan sebagai ejekan. Sebagian orang menganggapnya sebagai humor biasa, bahkan merasa wajar menyamakan warganet yang dianggap bertingkah bodoh atau hanya mengikuti tren tanpa berpikir independen, dengan monyet.
Mungkin terdengar berlebihan menyatakan bagaimana olok-olokan berbalut lelucon dapat berdampak buruk pada upaya konservasi monyet, atau seperti pembelaan yang tidak perlu. Namun, bahasa tidak pernah netral.Kata-kata mencerminkan realitas dan di saat yang sama mampu membentuk yang baru. Mereka mampu membentuk persepsi hingga memengaruhi pikiran dan tindakan kita.
Asal-usul
Ejekan itu tidak muncul dari ruang hampa. Ia berakar dari budaya yang menempatkan monyet bukan sebagai satwa liar dengan hak hidup, melainkan sebagai objek dalam genggaman tangan manusia. Julukan itu merefleksikan sejarah panjang manusia yang merasa berhak untuk mengontrol dan memanfaatkan monyet, bahkan jika hal itu menyebabkan penderitaan bagi mereka.
Praktik topeng monyet misalnya. Matthew Isaac Cohen dalam risetnya yang dibukukan dengan judul The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903, mengemukakan bahwa atraksi monyet sebagai pertunjukan komersial setidaknya telah muncul di masa Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Artinya, secara kultural, bangsa ini telah lama menjadikan monyet sebagai tontonan menghibur, baik dari balik jeruji kandang atau dari kekangan rantai---bahkan jauh sebelum Indonesia lahir sebagai negara.
Maka tidak heran jika barangkali, secara tidak sadar, persepsi mengenai monyet sebagai objek pertunjukan telah terpatri dalam pikiran secara turun temurun. Padahal, monyet-monyet itu bisa patuh melakukan perintah yang diberikan karena serangkaian penyiksaan dalam proses pelatihannya.
Hierarki dan Penghinaan
Penyebutan "kandang" secara tidak langsung mengakui bahwa dalam benak kolektif kita, monyet layak dan sudah sepantasnya untuk dikandangkan. Padahal jelas, mereka adalah satwa liar. Domestikasi membutuhkan ribuan tahun pembiakan selektif agar satwa memiliki watak ramah terhadap manusia, dan itu tidak dialami oleh monyet.
Meskipun sejarah pengurungan dan eksploitasinya oleh manusia sudah terjadi dalam waktu yang cukup panjang, tetapi monyet tetap mempertahankan sifat liarnya. Sehingga, jika dipelihara, mereka berpotensi besar akan menimbulkan risiko akibat agresi dan perilaku destruktif seiring bertambahnya usia.
Selain itu, monyet membutuhkan lingkungan yang luas, kaya, dan interaksi sosial yang intensif. Lingkungan domestik sulit memenuhi kebutuhan ini, sehingga seringkali membahayakan kesejahteraan monyet. Dari sini, sudah tampak bahwa hidup di atap yang sama akan merugikan manusia maupun monyet itu sendiri.
Sementara, penggunaan "monyet" sebagai simbol ejekan menunjukkan sebuah hierarki yang telah mapan: bahwa monyet, meski secara taksonomi berada di ordo yang sama dengan manusia yaitu primata, dianggap sebagai makhluk tingkat bawah. Lantas, manusia merasa wajar menggunakan monyet sebagai ungkapan penghinaan---baik berbasis rasial maupun inteligensi---kepada sesama manusia yang dianggap kelas dua.
Ejekan yang Melegitimasi
Di sinilah siklus itu menjadi berbahaya. Bahasa yang awalnya "hanya" mencerminkan eksploitasi sebagai realitas yang telah ada, kemudian justru memperkuat dan melanggengkannya.
Ketika olok-olok "kandang monyet" menjadi viral dan diterima begitu saja, ia mengukuhkan kembali persepsi bahwa monyet adalah makhluk mengganggu, tidak cerdas, hanya bisa meniru, berjoget, dan macam-macam aksi badut lainnya, serta pantas untuk dikurung.
Persepsi yang makin kokoh ini tidak hanya berdampak pada perasaan manusia yang dihina. Pembiasaan ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang permisif terhadap eksploitasi. Sebuah laporan IUCN pada tahun 2022 menunjukkan bahwa monyet ekor panjang, salah satu anggota genus Macaca, adalah salah satu primata yang paling banyak diperdagangkan secara ilegal, di antaranya untuk dijadikan peliharaan dan objek hiburan.
Padahal, sejak 2021, spesies ini masuk daftar CITES Appendix II, yang berarti dapat punah jika tidak ada pengendalian perdagangan. Spesies dengan nama ilmiah Macaca fascicularis ini juga telah tercantum dalam daftar terancam punah oleh IUCN sejak Maret 2022, dan jumlahnya menurun dengan cepat. Meski sayangnya, ia belum diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi bersama kerabat-kerabat Macaca yang sudah lebih dulu dilindungi.
Ini baru satu spesies dan telah terang menunjukkan bahwa monyet dipandang sebagai objek hiburan dan komoditas, bukan sebagai bagian dari ekologi yang sama dengan manusia. Hanya karena ia sebagai spesies belum secara utuh dan tegas diatur perlindungannya di Indonesia, bukan berarti tidak apa-apa untuk mengeksploitasinya.
Betapa normal kedengarannya bahwa monyet berada di kandang, juga tampak dari bagaimana video yang memuat monyet dikenakan pakaian dan dipelihara acap kali mengumpulkan banyak sentimen positif. Tidak sedikit yang gemas dan menyatakan ingin memiliki satu di rumah. Yah, siapa yang bisa menjamin bahwa komentar-komentar itu suatu saat tidak diwujudkan jadi kenyataan? Permintaan, bagaimanapun, tidak jarang mengundang penawaran meski tidak seketika.
Efeknya pada Konflik Manusia dan Macaca
Ejekan ini mencapai titik nadirnya ketika terjadi konflik. Di perkebunan sawit, di daerah wisata, maupun ketika memasuki permukiman, mereka dianggap hama. Di sini kemudian kaitan antara ejekan dan kebijakan menemukan wujudnya.
Ketika pemangku kebijakan dan masyarakat memandang monyet sebagai hama, maka solusi yang diusung cenderung pemberantasan, bukan manajemen konflik yang mengedepankan sains dan hak-hak hidup dari kedua spesies. Pola pikir ini sejalan dengan olok-olok "(aplikasi) kandang monyet".
Penyelesaian cepat itu jelas tidak tepat. Lederman et al. (2021) dalam publikasinya berpendapat bahwa kebijakan kesehatan masyarakat dan satwa liar yang didasarkan pada tindakan reaktif berupa pemberantasan seringkali gagal. Studi yang dilakukan oleh Miguel et. al. (2020) bahkan menemukan bahwa pemberantasan dapat memperburuk zoonosis.
Monyet bukan sekadar aksesori di bumi ini. Mereka memiliki peran ekologis yang penting. Satu di antaranya adalah mereka membantu menyebarkan biji-bijian hutan. Hilangnya mereka berarti rusaknya ekosistem. Lagi-lagi, ejekan "kandang monyet" menunjukkan kebiasaan lama kita: mengabaikan nilai ekologis monyet demi kenyamanan manusia.
Mungkinkah Siklus Ini Diputus?
Akan tetapi, sekali lagi, bahasa tidak pernah netral. Kata-kata mencerminkan realitas dan di saat yang sama mampu membentuk yang baru.
Dengan terus menggunakan ejekan ini, kita mematikan empati dua kali: kepada satwa yang telah lama dipinggirkan kesejahteraannya, dan kepada sesama manusia yang menjadi sasaran olok-olok.
Kita perlu mengakui bahwa selama ini kata-kata telah membentuk realitas yang tak memihak monyet atau keseimbangan alam secara umum. Namun, itu artinya, melalui kata-kata pula kita bisa membalikkan keadaan ini.Â
Memikirkan ulang ucapan dan tindakan kita adalah langkah kecil yang dapat memberikan dampak besar dalam menghentikan siklus eksploitasi. Maka, penting untuk membangun kesadaran bersama agar berhenti menggunakan ejekan berbasis satwa, apalagi menormalkan pengurungan satwa liar.
Percayalah, ini bukan melarang komedi, sok pecinta lingkungan, atau menjadi orang yang tidak seru di tongkrongan, melainkan mengakui bahwa ini bukanlah sekadar lelucon yang tidak berbahaya.
Jika diibaratkan, istilah ini serupa batu kerikil yang dilempar ke danau bernama masyarakat kemudian menciptakan efek riak yang terlampau jauh jangkauannya: dari memperkuat stereotip, mengerosi empati, melanggengkan eksploitasi, hingga mengancam kelestarian monyet---yang mana ketika populasi monyet terancam atau bahkan hilang, maka ada peran ekologi yang rumpang.
Saya tidak sedang mengeskalasikan keadaan terlalu jauh. Sebab, bahkan jika manusia tidak peduli dengan lingkungan, pada akhirnya, kerusakan ekologi juga akan mengancam kualitas hidup spesies bernama Homo sapiens---kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI