Dengan terus menggunakan ejekan ini, kita mematikan empati dua kali: kepada satwa yang telah lama dipinggirkan kesejahteraannya, dan kepada sesama manusia yang menjadi sasaran olok-olok.
Kita perlu mengakui bahwa selama ini kata-kata telah membentuk realitas yang tak memihak monyet atau keseimbangan alam secara umum. Namun, itu artinya, melalui kata-kata pula kita bisa membalikkan keadaan ini.Â
Memikirkan ulang ucapan dan tindakan kita adalah langkah kecil yang dapat memberikan dampak besar dalam menghentikan siklus eksploitasi. Maka, penting untuk membangun kesadaran bersama agar berhenti menggunakan ejekan berbasis satwa, apalagi menormalkan pengurungan satwa liar.
Percayalah, ini bukan melarang komedi, sok pecinta lingkungan, atau menjadi orang yang tidak seru di tongkrongan, melainkan mengakui bahwa ini bukanlah sekadar lelucon yang tidak berbahaya.
Jika diibaratkan, istilah ini serupa batu kerikil yang dilempar ke danau bernama masyarakat kemudian menciptakan efek riak yang terlampau jauh jangkauannya: dari memperkuat stereotip, mengerosi empati, melanggengkan eksploitasi, hingga mengancam kelestarian monyet---yang mana ketika populasi monyet terancam atau bahkan hilang, maka ada peran ekologi yang rumpang.
Saya tidak sedang mengeskalasikan keadaan terlalu jauh. Sebab, bahkan jika manusia tidak peduli dengan lingkungan, pada akhirnya, kerusakan ekologi juga akan mengancam kualitas hidup spesies bernama Homo sapiens---kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI