Mohon tunggu...
Annisa R
Annisa R Mohon Tunggu... Mungkin Mahasiswa

Belum tahu mau menulis apa.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pelanggengan Eksploitasi di Balik Ejekan "Aplikasi Kandang Monyet"

15 September 2025   18:30 Diperbarui: 15 September 2025   18:40 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seekor monyet di dalam kandang hasil razia pengamen topeng monyet di Cawang, Jakarta Timur, 22 Oktober 2013. (Sumber: Tempo/Dian Triyuli Handoko)

"Ya, pantaslah. Memang aplikasi kandang monyet!"

Frasa "aplikasi kandang monyet", yang mana merujuk pada TikTok, sering digunakan sebagai ejekan. Sebagian orang menganggapnya sebagai humor biasa, bahkan merasa wajar menyamakan warganet yang dianggap bertingkah bodoh atau hanya mengikuti tren tanpa berpikir independen, dengan monyet.

Mungkin terdengar berlebihan menyatakan bagaimana olok-olokan berbalut lelucon dapat berdampak buruk pada upaya konservasi monyet, atau seperti pembelaan yang tidak perlu. Namun, bahasa tidak pernah netral.Kata-kata mencerminkan realitas dan di saat yang sama mampu membentuk yang baru. Mereka mampu membentuk persepsi hingga memengaruhi pikiran dan tindakan kita.

Asal-usul

Ejekan itu tidak muncul dari ruang hampa. Ia berakar dari budaya yang menempatkan monyet bukan sebagai satwa liar dengan hak hidup, melainkan sebagai objek dalam genggaman tangan manusia. Julukan itu merefleksikan sejarah panjang manusia yang merasa berhak untuk mengontrol dan memanfaatkan monyet, bahkan jika hal itu menyebabkan penderitaan bagi mereka.

Praktik topeng monyet misalnya. Matthew Isaac Cohen dalam risetnya yang dibukukan dengan judul The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903, mengemukakan bahwa atraksi monyet sebagai pertunjukan komersial setidaknya telah muncul di masa Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Artinya, secara kultural, bangsa ini telah lama menjadikan monyet sebagai tontonan menghibur, baik dari balik jeruji kandang atau dari kekangan rantai---bahkan jauh sebelum Indonesia lahir sebagai negara.

Maka tidak heran jika barangkali, secara tidak sadar, persepsi mengenai monyet sebagai objek pertunjukan telah terpatri dalam pikiran secara turun temurun. Padahal, monyet-monyet itu bisa patuh melakukan perintah yang diberikan karena serangkaian penyiksaan dalam proses pelatihannya.

Hierarki dan Penghinaan

Penyebutan "kandang" secara tidak langsung mengakui bahwa dalam benak kolektif kita, monyet layak dan sudah sepantasnya untuk dikandangkan. Padahal jelas, mereka adalah satwa liar. Domestikasi membutuhkan ribuan tahun pembiakan selektif agar satwa memiliki watak ramah terhadap manusia, dan itu tidak dialami oleh monyet.

Meskipun sejarah pengurungan dan eksploitasinya oleh manusia sudah terjadi dalam waktu yang cukup panjang, tetapi monyet tetap mempertahankan sifat liarnya. Sehingga, jika dipelihara, mereka berpotensi besar akan menimbulkan risiko akibat agresi dan perilaku destruktif seiring bertambahnya usia.

Selain itu, monyet membutuhkan lingkungan yang luas, kaya, dan interaksi sosial yang intensif. Lingkungan domestik sulit memenuhi kebutuhan ini, sehingga seringkali membahayakan kesejahteraan monyet. Dari sini, sudah tampak bahwa hidup di atap yang sama akan merugikan manusia maupun monyet itu sendiri.

Sementara, penggunaan "monyet" sebagai simbol ejekan menunjukkan sebuah hierarki yang telah mapan: bahwa monyet, meski secara taksonomi berada di ordo yang sama dengan manusia yaitu primata, dianggap sebagai makhluk tingkat bawah. Lantas, manusia merasa wajar menggunakan monyet sebagai ungkapan penghinaan---baik berbasis rasial maupun inteligensi---kepada sesama manusia yang dianggap kelas dua.

Ejekan yang Melegitimasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun