Mohon tunggu...
Adriell Paskasius
Adriell Paskasius Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Pelajar

Bertinggal di Semarang kini sedang berada jauh dari orang tua karena asrama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menepis Intoleransi di Media Sosial dengan Spiritualitas Ugahari

14 Februari 2022   12:15 Diperbarui: 14 Februari 2022   12:33 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Tambah umur tapi tidak makin dewasa" Seringkali ucapan tersebut ditujukan untuk  seseorang yang sudah dewasa secara usia, namun belum ada bentuk kedewasaan yang ditunjukkan melalui tindakan atau pun ucapannya . Kalimat pendek tersebut ternyata tidak sesederhana yang kita kira, dibalik sederhananya itu terdapat sebuah makna reflektif bagi yang menerimanya. Mungkin kalimat ini pula yang sungguh bisa menjadi representasi dari Republik Indonesia kita tercinta.

 Saat ini Indonesia sudah mencapai usia 76 tahun, tidak terasa bukan usia bangsa kita ini sudah cukup tua? Tetapi, nampaknya kesadaran itu tidaklah menyeleuruh dan merata, pandangan masyarakat masih hanya sebatas pertambahan umur sebagai tanda bahwa Republik ini bertambah tua saja tidak lebih. Umur yang kita miliki ya hanyalah sebuah angka biasa saja tidak punya arti yang lebih. Pesta perayaan kemerdekaan hanya sekedar momen seremonial tahunan saja. 

Bahkan tidak menutup kemungkinan juga terdapat individu atau kelompok yang acuh tak acuh terhadap momen tersebut. Maka tidak salah apabila kita menamai momen ini sebagai momen luapan kebahagiaan semu saja. Mereka senang dan bahagia ya hanya ketika hari dimana pesta perayaan kemerdekaan itu terjadi, selepas dari itu ya mereka akan kembali seperti biasa saja tanpa adanya sebuah pemaknaan lebih dalam lagi. Padahal apabila momen berbahagia ini bisa digunakan untuk melihat-lihat dan merasa-rasakan beberapa pengalaman kebelakang, maka akan memunculkan sebuah kesadaran kolektif. 

Masa lalu boleh saja cepat berlalu, tapi apakah kita tidak bisa memetik buah kebaikan dari masa lalu tersebut? Tentu saja itu sangat mungkin dan bisa, justru masa lalu merupakan guru terbaik kehidupan. Namun muncul sebuah pertanyaan, lantas mengapa masih begitu banyak kejahatan-kejahatan yang terjadi di Republik ini?

 Salah satu yang akhir-akhir ini mulai marak kembali ialah mengenai tindakan intoleransi. Berita yang sempat mencuat dan menjadi viral adalah video seseorang yang menendang sesajen di Gunung Semeru. Dalam video itu, sang pria itu sambil menunjuk ke sesajen berkata: "Ini yang membuat murka Allah. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru nengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya, Allahu akbar" ucap pria tersebut. Satu contoh kasus diatas bisa menjadi gambaran bahwa dilihat secara umur Republik ini belum dewasa seutuhnya. 

 Ugahari Dalam Bermedia 

 Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perkembangan teknologi turut membawa kemajuan perkembangan pada dunia media komunikasi. Orang jauh lebih mudah ketika ingin memberi kabar atau menyebarluaskan sebuah informasi. Media sosial merupakan salah satu wujud nyata dari berkembangnya teknologi saat ini. Sebuah ruang yang bisa menghilangkan batas-batas fisik setiap individu. Sebuah survei yang dilakukan oleh CSIS pada tahun 2017 menunjukkan bahwa kaum muda adalah penikmat media sosial yang sangat tinggi (87%) dari 5000 pelajar dan mahasiswa menggunakan media sosial tiap harinya. Beberapa platform yang secara intesif digunakan ialah instagram, twitter dan facebook (sebanyak 77%). 

Tidak sedikit pula kaum muda yang justru belajar agama bukannya dengan buku-buku atau tokoh-tokoh agama melainkan dari media sosial. Keterlibatan aktif kaum muda di dunia digital bukanlah tiba-tiba, tidak ada masalah juga apabila mereka mengaksesnya setiap hari. Namun akan menjadi sebuah masalah apabila media sosial didominasi dengan adanya pemberitaan kebencian kepada pihak lain. Bukan kita ingin menuduh kaum muda sebagai kelompok yang mengacaukan, tetapi mereka adalah kelompok masyarakat yang bergerak dan terus mencari. 

Maka secara tidak langsung apabaila mereka tidak memiliki defensif diri yang kuat, lama-kelamaan mereka akan ikut arus yang bernuansa negatif tersebut. Kaum muda tidak bisa ditempatkan sebagai entitas yang selalu dalam "kesehatan berpikir" dan kesesatan tindakan, dinamika mereka terkadang amat sulit untuk dianalisis dan ditebak. Media sosial telah memberikan dampak luar biasa bagi perkembangan pola hidup masyarakat, tak terkecuali pola keberagaman. 

Intoleransi yang terjadi dalam ranah platform digital biasanya dilakukan oleh individu yang punya fanatisme tinggi terhadap sesuatu yang diyakininya benar adanya. Padahal di era sekarang ini kebenaran tidak bisa diartikan secara tunggal (universe), perlu menilik lebih lanjut dari berbagai perspektif lain di luar perspektif kita sendiri. Salah satu bentuk tindakan intoleran yang seringkali muncul di media sosial ialah ujaran kebencian yang seringkali dilayangkan melalui ruang-ruang komentar publik. 

Tidak jarang pula ucapan yang dilontarkan  berbau menyindir bahkan menyinggung mengenai ajaran-ajaran suatu agama tertentu. Potret ini begitu sangat disayangkan, media sosial yang sejatinya diciptakan baik adanya  justru menjadi sebuah sarana yang bernuansa menghina dan menjatuhkan satu sama lain. Belum lagi sekarang ini penyebaran informasi kian masif, sedangkan terkadang informasi yang kita peroleh belum tentu jelas darimana sumbernya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun