Di SMA Katolik yang megah di kota Semarang, semua siswinya perempuan. Bangunannya besar, bersih, dan berlapis marmer, tapi di balik kemewahannya, ada sisi gelap yang jarang diperhatikan: perundungan di antara siswi.
Suatu siang, enam siswi yang dikenal sebagai kelompok jahat---Ida, Nimas, Youssefa, Imel, Tini, dan Nadya---sedang duduk di pojok kantin. Dina, siswi kutu buku yang selalu membawa buku OSN tebal untuk persiapan lomba eksakta, menjadi bahan obrolan mereka.
"Eh, kalian lihat nggak si Dina? Bawa buku tebel itu lagi," kata Imel sambil tertawa kecil.
"Tebal banget, ya. Kayak mau bawa lembaran sekolah semua," tambah Youssefa.
Imel tersenyum nakal. "Aku mau ke WC, nemenin nggak?"
Sementara itu, Ida menghela napas panjang. "Eh, aku baru tahu info seru nih. Ketua kelas kita, Lusia, anaknya Jose, anggota DPR Filipina, loh."
"Eh, beneran?" tanya Nadya.
"Tapi katanya ayahnya korupsi, ya ampun!" Ida menimpali, matanya berbinar.
Diskusi makin panas. "Masak sih ketua kelas kita dikasih uang berlaksa-laksa, tapi ayahnya korupsi?" kata Nimas dengan nada mencibir.
Tiba-tiba, Lusia datang menghampiri mereka dengan wajah polos. "Kalian lagi membahas apa?"
Kelompok jahat itu langsung terdiam. Tini dan Nadya, yang biasanya patuh pada aturan sekolah, menunduk malu. Ida menatap Lusia dingin. "Eh... nggak ada apa-apa."
Lusia menghela napas, mencoba tersenyum. Namun, kelompok jahat itu tetap mengucilkannya.
Saat itu, Dina dan Ria muncul dari arah kelas. Dina tersenyum ramah. "Hei, Lusia. Gimana kalau kita berteman?"
Lusia terkejut, lalu tersenyum lega. "Aku mau banget."
Ria menepuk bahu Lusia, "Jangan sedih, kita di sini buat kamu."
Hari berikutnya di kelas, Lusia ingin duduk sebangku dengan Youssefa, siswi keturunan Arab asal Pekanbaru. "Apa lo? Mau duduk sini? Maaf, aku nggak duduk sama anak yang ayahnya tukang korupsi sepertimu!" ejek Youssefa tajam.
Ria cepat menawarkan tempat duduknya, "Lusia, duduk sama aku aja."
Lusia tersenyum, "Makasih ya, Ria."
Namun Nimas tak mau kalah. Ia melemparkan kertas gulungan ke arah Lusia sambil berteriak, "Anak tukang korup! Anak tukang korup!"
Ida mengangguk setuju. "Masakan ketua kelas kita tukang korup? Huuuu!"