Di sebuah SMA negeri kenamaan di Kalimantan Selatan, tepatnya di kelas XII IPS 2 yang terkenal dengan kenakalannya, suasana hari itu berbeda. Mata pelajaran Antropologi baru saja dimulai, dipimpin oleh seorang guru perempuan asal Larantuka, Bu Phoebe.
Bu Phoebe berdiri di depan kelas sambil menatap murid-muridnya yang berjumlah 36 orang. Hampir semuanya sibuk dengan dunia mereka sendiri. Ada yang main HP, ada yang ngobrol, dan yang paling menonjol: para siswi perempuan asyik membuat konten TikTok.
"Anak-anak... ayo kita mulai belajar. Antropologi itu asik kok kalau kalian serius," suara Bu Phoebe mencoba menenangkan.
Namun dua siswi tak menggubris. Mereka adalah Catarina Sitepu alias Catrine, siswi Batak Karo berkulit putih bak gadis Italia-Amerika, dan sahabat karibnya Imelda alias Imel, siswi asal Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
"Eh Cat, sini... cahaya dari jendela bagus banget buat bikin transisi," kata Imel dengan logat Pontianaknya yang kental.
"Kamek sudah set tripodnya nih. Tinggal rekam jak, biar viral."
Catrine hanya nyengir, lalu menari dengan semangat.
Tiba-tiba masuk seorang cowok bertubuh jangkung: Luigi, pacar Imel yang sudah dua tahun menjalin hubungan dengannya. Luigi sebenarnya lahir di Timika, Papua, dari keluarga Batak, tapi karena lama tinggal di Banjarbaru, dia fasih memakai logat Banjar.
"Eh Cat, Imel... ayo gaskannn. Lagu Timur lagi naik nih. Kita joget rame-rame!" ajaknya sambil menaruh HP di tripod.
Belum sempat mereka mulai, suara Bu Phoebe meninggi.
"Luigi! Imelda! Catarina! Apa-apaan ini? Kalian kira kelas ini studio TikTok?!"
Namun Catrine malah menantang, "Kenapa Bu nggak sekalian ikut joget aja biar gak stress? Belajar bikin pusing tau!"
Imel langsung menoleh dengan ketus, "Eh Cat, mulutmu tu bahaya tau. Bisa bikin ibu sakit hati! Jangan suka ngawur lah."
"Woy, bukan salah gue! Gue cuma keluarin apa yang ada di pikiran gue," sahut Catrine.
"Kalau kita kena masalah, itu gara-gara kamu. Jangan bawa-bawa kamek dalam masalahmu, Cat!" bentak Imel dengan logat Pontianak.