Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dongeng | Raja Maruk yang Murka

10 Mei 2018   15:37 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:15 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

MOGA-MOGA matamu sehat, telingamu sehat, kepalamu sehat, dadamu sehat, tanganmu sehat, kakimu sehat, perutmu sehat. Pendek kata, semuanya sehat. Kudoakan begitu karena mungkin kamu malas mendengar dongeng ini jika kamu tengah sakit.

Ketika kepalamu pening, suara bising membuatmu mudah naik darah. Kalau gusimu sedang bengkak, penyanyi bersuara merdu saja dapat membuatmu uring-uringan. Maka, kudoakan agar kamu selalu sehat. Kepala dan isi kepalamu sehat. Dada dan isi dadamu sehat. Perut dan isi perutmu sehat. Semuanya. Tanpa kecuali.

Jadi begini awal ceritanya.

***

RAJA MARUK membuka jendela balairung dan berteriak murka. Sekawanan semut merambati kusen jendela. Teriakannya membahana. Penghuni istana berhamburan ke arahnya, tetapi tiada yang berani mendekat, apalagi bertanya apa penyebab beliau  sedemikian murka. Kecuali Patih Patuh.

"Ada apa, Baginda?"

Raja menunjuk kusen jendela. "Dari mana semut-semut ini?"

Patih Patuh tersenyum. "Dari tanah, seperti kita." 

"Jauhkan dari jendela!"

"Nanti juga hilang sendiri."

"Lakukan sekarang atau kamu akan menyesal seumur hidup," sembur Raja dengan mata semerah darah. "Jangan biarkan mereka mencuri sebutir gula saja di istanaku!"

"Mereka mencari, Baginda," tutur Patih dengan nada pelan, "kitalah yang mencuri tanah, rumah, dan makanan mereka. Kita bangun kota di atas perumahan mereka."

"Bodoh amat!"

Raja Maruk seorang raja yang ambisius. Dengan balatentara yang dahsyat ia merajalela. Kerajaan kecil diluluhlantakkan, kerajaan besar dihancurleburkan. Satu-satunya wilayah yang belum ditundukkan adalah Hutan Tak Bertuan. Sekali waktu ia kerahkan pasukan, namun pasukannya dipukul mundur oleh suku-suku yang menguasai hutan.

Pada akhir musim hujan lalu, Raja mengerahkan rakyat untuk membuka tepi hutan menjadi Ibu Kota baru. Pohon-pohon ditumbangkan. Rawa-rawa ditimbuni tanah. Gedung-gedung megah dibangun, istana mewah didirikan. Setahun kemudian, hutan berhasil disulap menjadi kota yang ramai.

Pagi ini beliau murka karena sekawanan semut menguasai jendela.

***

RAJA MARUK tersenyum puas di singgasana. "Masih ada yang kurang, Patih?"

"Masih ada, Baginda." Patih Patuh menunduk melihat Raja mengerutkan kening. "Kita belum punya Perpustakaan Agung. Kerajaan Kenang, yang terakhir kita taklukkan, sudah lebih dulu maju...."

"Apa gunanya perpustakaan" timpal Raja. "Peperangan butuh senjata dan peluru."

"Buku itu senjata sekaligus peluru!"

"Tapi tidak langsung membunuh!"

"Kita butuh pengetahuan, Baginda."

Raja Maruk manggut-manggut. "Kalau begitu Patih pimpin Proyek Perpustakaan Agung. Sita semua  buku bermutu di kerajaan. Angkut manuskrip prosa dan puisi dan naskah kuno  ke perpustakaan kita. Kerahkan ilmuwan dan sastrawan agar ikut Proyek Penulisan Buku!"

"Honornya?"

"Tidak ada honor. Mereka harus berbakti!"

Sabda Raja Maruk adalah segala-galanya. Tidak boleh dibantah.

***

PERPUSTAKAAN AGUNG telah berdiri megah di sisi barat Istana Senang. Setelah seluruh buku bermutu diangkut dan ditata dengan baik, setelah ilmuwan dan sastrawan melahirkan mahakarya, Raja Maruk melakukan inspeksi. Ia marah-marah melihat sekawanan rayap di pojok utara Ruang Buku Sastra.

"Dari mana rayap itu?"

"Dari hutan yang kita babat, Baginda."

"Mereka mencari pengetahuan?"

Patih menggeleng. "Mencari pohon."

"Tak ada pohon di perpustakaan ini!"

"Pada tiap buku di perpustakaan ini ada pohon yang kehilangan nyawa," ujar Patih pelan, "sementara banyak orang membeli buku dan tidak membacanya."

"Lalu rayap yang baca?"

"Aroma kayu mengundang rayap datang."

"Sangat mengganggu," sergah Raja, "habisi rayap-rayap itu!"

"Baik, Baginda, hamba akan habisin rayapnya."

***

PADA SATU senja yang cerah, Raja berjalan-jalan di Taman Tenang di depan Istana Senang. Ia memanjat mangga, namun segera meloncat dengan bibir menggelepai.

"Ada apa, Baginda?"

"Kenapa ada ulat di buah mangga?"

Patih tersenyum. "Buah dan ulat memang bersahabat."

"Sangat mengganggu!"

"Ulat menyuburkan tanah buat pohon, lalu pohon menghadiahinya buah."

"Aku tidak peduli," sergah Raja. "Besok tidak boleh ada ulat lagi di taman ini!"

"Baik, Baginda!"

***

TIBALAH MUSIM berburu yang selalu ditunggu-tunggu oleh Raja. Ditemani pasukan khusus dan Patih Patuh, ia memasuki kawasan hutan. Patih sangat hafal kawasan berburu yang aman. Raja berburu sampai hatinya senang. Rusa dan buruan lainnya dibawa ke tenda. Koki segera beraksi, tetapi Raja marah-marah.

"Aku ingin memasak buat kalian," katanya.

Koki dan anak buahnya menyingkir jauh-jauh. Mereka tidak ingin melihat Raja Maruk murka. Patih geleng-geleng kepala. Tiba-tiba terdengar teriakan dari Tenda Kenyang. Patih dan Koki segera ke sana. Ternyata jempol tangan kiri Raja terpotong saat beliau mengiris-iris daging rusa. Ia marah-marah.

Patih buru-buru mencari Tuan Tabib. Setelah berkeringat dingin, setelah mencoba banyak cara, jempol Raja tidak bisa disatukan kembali. Tuan Tabib ketakutan melihat Raja murka. 

Dengan tenang, Patih berusaha menghibur Raja. "Baginda tidak usah marah atau sedih."

Raja tercengung. "Kenapa?"

"Semua peristiwa pasti ada manfaatnya!"

Raja Maruk murka. "Apa manfaat jempol buntung, Patih?"

Patih menceratuk. Menunduk dalam-dalam.

"Kamu menghinaku," seru Raja. "Kamu harus dipenjara di sini."

Pasukan khusus segera membangun penjara dari batu dan pohon. Patih tidak akan sanggup meloloskan diri bahkan seandainya dibantu oleh orang lain.

***

PADA MUSIM berburu berikutnya, Raja kembali ke hutan. Ia puas melihat Patih masih terkurung tanpa daya. Dengan mata berbinar cerah, ia mengacungkan jempol kepada pasukan penjaga. Lalu, beliau berangkat berburu. Kali ini tanpa Patih yang hafal kawasan aman. 

Selagi asyik mengintai mangsa, Suku Barani mengepung Raja dan pasukannya. Tidak butuh waktu lama, Raja takluk. Pasukannya kocar-kacir. Semuanya pontang-panting melarikan diri. Daripada mati, Raja menyerah. Barangkali bisa membujuk Kepala Suku dengan harta dan buku, pikirnya.

Setiba di kawasan Suku Barani, penutup mata Raja dibuka. Beliau kaget karena di depannya ada segunung kayu bakar.

"Persembahan sempurna bagi Dewa Api," kata Kepala Suku. "Gagah, tampan, sehat, dan tidak cacat. Bakar kayu dan lemparkan korban ke dalam api."

Mendadak sesuatu melintas di benak Raja. "Tunggu!"

Orang-orang terperanjat.

Kepala Suku menyeringai. "Kamu pemberani. Katakan ada apa!"

"Kalian mau menghina Dewa Api dengan sesembahan yang cacat?"

"Kamu sempurna!"

Raja menggeleng seraya memperlihatkan jempol tangan kirinya yang buntung.

Kepala Suku meraung-raung. "Lepaskan dia dan cari korban yang sempurna!"

Raja gembira bukan kepalang.

***

DENGAN SUSAH payah akhirnya Raja Maruk menemukan tenda dan sisa-sisa pasukannya. Serdadu-serdadu ketakutan. Tetapi Raja tidak marah, malah tersenyum ramah. Serdadu-serdadu kaget melihat perubahan sikap Raja. Mereka menjura.

Seraya bersenandung riang, Raja mendekati penjara Patih dan menyuruh penjaga untuk membuka pintunya. Begitu terbuka, Raja menghambur masuk dan memeluk Patih. Ia ceritakan semua yang dialaminya kepada Patih.

"Maafkan aku karena memenjara kamu."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Baginda!"

"Hatimu memang mulia."

Patih menggeleng. "Hamba yang mesti berterima kasih."

"Dipenjara kok berterima kasih?"

"Andai hamba tidak dipenjara, Baginda pasti mengajak hamba ikut berburu."

"Pasti!"

"Kalau hamba ikut berburu dan tertangkap bersama Baginda, pasti hamba yang akan dikorbankan."

"Karena jarimu utuh?"

"Betul," ujar Patih, "karena itu hamba bersyukur dan berterima kasih."

Raja tercengang. "Dari mana kamu pelajari kearifan seperti ini?"

"Dari buku-buku yang tidak pernah Baginda baca."

Sejak itu Raja rajin ke perpustakaan, beliau rajin membaca. Sejak itu pula ilmuwan dan sastrawan diupah sangat mahal atas karya-karya mereka. Bahkan Raja membebaskan mereka dari pajak. Harga kertas diturunkan sehingga buku lebih murah.

***

BEGITULAH KISAH yang saya dengar dari banyak orang dan saya kisahkan kembali kepadamu. Namanya juga dongeng, tentu ada bagian yang saya tambah atau saya kurangi. 

Semoga kamu menyukainya.

Kandangrindu, 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun