"Ya."
"Betul atau benar."
"Benar-benar betul."
Baru kali ini kulihat wajah Tira merah padam. Ia remas  jari-jari tangan kirinya gunakan tangan kanan. Gadis ini merunduk ke lantai sambil memperhatikan jari-jari kakinya bergerak. Karena Tira memang senang buka sandal dan tempatkan telapak kaki di atasnya.
//
Meskipun Tira sudah jelaskan kalau dian punya tunangan di kampung, namun gadis ini tidak berubah sedikitpun rasa pertemanannya padaku. Kami  terus jalani hari-hari sebagaimana biasanya. Teman-teman kampus bahkan mengira kami adalah sepasang kekasih.
Hingga suatu hari, Tira mengajakku ke kos putri tempat tinggalnya. Selama ini memang aku tidak pernah diajak. Aku juga tidak memaksakan untuk datang. Sebab, betapa gentingnya bila diriku dan dirinya berduaan dalam kamar.
Sampai di kos-kosannya tersebut, Tira mengajakku masuk. Ia lalu menutup pintu membuatku gugup. Tapi Tira tenang-tenang saja. Apakah wanita ini sudah mati rasa, tidak berdebar-debar bila berduaan lelaki dalam hujan deras mengguyur kota.
"Untung kita telah tiba. Kalau tidak, basah jadinya."
"Ya."
Aku menjawab singkat. Pikiran liarku mulai menjalar. Kalau aku dan Tira berduaan dalam kamarnya saat  hujan dan sunyi  begini. Lalu terjadi apa yang seharusnya terjadi pada anak cucu Adam yang berlainan jenis. Kemudian Hansip datang bersama masyarakat lalu menggiring kami ke penghulu. Murkalah semua keluargaku di Makassar.