"Ih, namamu juga lucu, Tiro."
Tira tertawa manis perlihatkan barisan giginya putih bak mutiara. Hemm, bibirnya yang disapu gincu natural, sangat indah, tipis tidak, tebal pun tidak. Pokoknya, selangit sensualnya.
"Ya, Tiro, itu kependekan dari  real name-ku, Melihat Daeng Tiro."
"Ko, Melihat Daeng Tiro. Pantas dank, dari tadi kamu melihat terus aku."
Aku mulai tertawa kecil juga, tentu saja ketawaku manis pula. Ibuku bilang, kalau aku tertawa sangat ganteng. Karena di atas bibirku itu ada kumis tipis yang menawan. Kata ibuku pula, kulitku memang khas pelaut Makassar, sawo matang. Badanku juga padat dengan tatapan mata yang tajam namun penyayang.
"Melihat Daeng Tiro itu pemberian dari  kedua orang tuaku. Kata Melihat, aku rasa Tira sudah tahu kan artinya, Daeng itu artinya kakak, itu biasa dipakai orang-orang Makassar. Kalau kata Tiro, ya Bahasa Makassar, artinya melihat."
Tira bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa terpingkal-pingkal, badannya bergoyang. Bahkan secara reflex ia memukul pinggangku, mungkin karena senangnya. Aku terima pukulan Tira dengan dada bergemuruh, begitu lembut jari-jari itu mendarat di pinggang.
"Kalau nama lengkapku, Uwentira Putri, biasa dipanggil Tira, begitu."
Cukup cepat  juga diriku akrab dengan gadis  berdarah Kaili ini. Tapi biarlah, aku memang sedang jomblo ditinggal pacar yang menikah dengan anggota DPRD familinya. Rasa-rasanya, aku mau saja jadi pacar Tira kalau Yang Maha Esa takdirkan.
//
Dua pekan aku mengenal Tira, aku rasa wanita sangat baik. Ia juga telah mengajak ke tempat-tempat kumpulnya anak muda di Kota Palu, seperti warkop-warkop ternama. Dengan gadis itu, telah ber-selfi di Jembatang Kuningnya Palu. Tak lupa pula ia ajak aku makan Kaledo, sop tulang sapi kalau di Makassar disebut Konro.