"Tolong bantu aku mengangkat jenazah istriku." Dinara memalingkan wajah dan berhambur memeluk uminya.
Setelah semuanya selesai dan berjalan dengan lancar. Satu persatu semua orang meninggalkan tempat itu hingga menyisakan Faiz dan wanita yang dicintainya saja. Pria itu menatap kosong ke patokan kayu di atas gundukan tanah merah yang masih basah. Sampai saat ini ia masih tak percaya. Wanitanya telah menandatangani sertifikat sepetak dengan Ilahi dalam artian yang sesungguhnya. Menandakan bahwa ada batas yang tidak dapat tersentuh.
"Secepat ini kamu meninggalkan saya Salsa?" Hening. Hanya ada suara tiupan angin yang seolah menertawakan tingkahnya. Jika dipikir, apa yang Faiz lakukan ini sangat konyol bukan? Ah, biarkan. Lagipula orang lain tidak mengetahui seberapa terlukanya dia saat ini.
"Apa kamu lupa dengan tawaran saya tempo hari?" Faiz kembali tersenyum miring seraya mengelus nisan istrinya.
"Kita berjanji akan membangun istana di dunia dan akhirat bukan? Namun, belum sepenuhnya selesai kamu meninggalkanku dan malaikat kecil." Ia mengusap wajah gusar. Pikirannya kacau. Ketakutannya selama ini akhirnya terjadi. Namun, kenapa ia yang harus pergi menyisakan luka dalam hati?Â
"Salsa, apakah saya sanggup merawat Acha seorang diri?" Ia kembali bertanya.
"Sayang, mungkin kamu bosan mendengar kalimat yang selalu saya ulang. Sampai kapan pun saya mencintaimu Salsa, hari ini, esok, dan nanti. Kamu adalah mutiara dalam kerang yang hanya bisa dimiliki oleh orang beruntung saja. Kamu berharga. Demi Allah, bersamamu surga terasa lebih dekat." Setelah mencium nisan istrinya, Faiz berlalu pergi. Namun, entah mengapa seperti ada jangkar yang mengikat kakinya. Membuat langkah itu terasa begitu berat. Ia menoleh untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu Faiz tidak ragu untuk meneruskan langkahnya kembali.
Tanpa terasa langit biru telah berganti jingga. Segurat warna merah menghiasi cakrawala. Suasana kali ini berbeda, tenang dan hanya ada tangisan suara bayi. Berulang kali wanita itu berusaha membuat Salsa kecil terdiam. Namun, sepertinya anak itu sedang merindukan uminya. Faiz yang mendengar tangis putrinya bergegas keluar dari kamar. Ya, setelah kepulangannya dari makam pria itu jadi sering mengunci diri dalam kamar.
Faiz mengambil alih putrinya. Dari kejauhan Dinara dapat melihat kasih sayang seorang ayah yang benar-benar nyata. Faiz menimang putrinya sembari menepuk-nepuk pelan. Jangan lupakan sholawat yang dilantunkan sehingga tangsi pecah bayi itu menghilang. Setelah malaikat kecil itu tertidur, ia meletakkan Acha di atas ranjang, selanjutnya Faiz keluar. Namun, kali ini pria itu menghampiri Dinara. Entah apa yang ingin dibicarakan, tapi sepertinya penting. Pria itu tidak akan berbicara kepadanya jika tidak karena urusan yang penting saja.
"Bisakah kita bicara sebentar?" Dinara mendongak. Bertepatan dengan itu, Dinara mengangguk. Ia mengikuti ke mana pria itu akan membawanya dari belakang. Hingga pada akhirnya pria itu membawa Dinara duduk di taman belakang rumahnya.
"Terima kasih karena mau merawat Acha." Dinara mengangguk. Hanya itu yang bisa Dinara lakukan. Setiap kali ia berada di dekat Faiz, bibirnya seperti diberi lem.