"Pasien dengan nama lengkah Aqila An-Najwa telah meninggal dunia pada pukul 19:50 WIB disebabkan oleh postpartum hemorrhage (PPH) atau pendarahan pasca melahirkan."
Tangsi Dinara pecah. Kalimat itu bagaikan tombak yang memohok tepat di relung hatinya. Bertepatan dengan itu, Faiz berlalu pergi menghiraukan dokter yang masih diam di tempat. Pria itu melihat semua alat medis yang melekat di tubuh istrinya satu persatu dilepas. Bahkan selimut putih yang menutupi sebagian tubuh gadis itu kini sepenuhnya menyelimuti badan Salsa.
Tubuhnya sempat terhuyung. Namun, pria itu berusaha tegar. Langkahnya yang mulai melemah berusaha agar sampai di dekat istrinya. Tangan yang gemetar membuka selimut yang menutupi Salsa. Segumpal sesak bersarang di dadanya. Faiz tak mampu membendung kesedihannya. Desisan itu terdengar keluar dari bibir manisnya. Tak henti ia menjambak kasar rambutnya. Di menit yang sama pula kening keduanya saling bersentuhan. Jarak mereka terlampau dekat hingga bening itu tak segan menghujani wajah Salsa. Gadis dengan wajah yang memutih itu tidak bergerak sedikitpun.
"Sudah, Faiz. Yang ikhlas ya, Nak." Umi Nur berusaha menenangkan menantunya. Walau pertahanannya sendiri juga tengah tidak baik-baik saja. Ikhlas adalah hal yang berusaha digapai olehnya.
"Bersedih adalah sesuatu yang wajar Mas, tapi alangkah baiknya jika Mas Faiz mengikhlaskan Salsa. Dia pasti sudah tenang di sana." Sekian lama membisu, gadis itu akhirnya bersuara. Entah mendapatkan keberanian dari mana, ia pun tidak tahu.
"Yang dikatakan Nak Dinara itu benar, Faiz. Doakan Salsa, jangan berlarut-larut dalam kesedihan yang akhirnya menuntun kita untuk bernihayah." Wanita itu mengelus puncak kepala Faiz.
Hening. Tidak ada jawaban yang pria itu berikan. Wejangan yang ibu mertuanya berikan ada benarnya. Tidak sepatutnya ia bernihayah seperti ini. Apa yang dilakukannya hanya menambah beban almarhumah saja.
Sekian lama membisu dan setelah Dinara mengurus administrasi, mobil innova putih saling beriringan dengan ambulans yang berada di depannya. Rencananya hari ini juga Salsa akan dimakamkan. Pria itu? Ia masih berkalut dalam kesedihan.
Beberapa menit setelahnya Dinara dengan gamis abaya hitam dan juga beberapa orang siap mengantarkan Salsa ke peristirahatan terakhirnya. Di bawah bentangan langit biru dengan gumpalan putih yang mengisi setiap kekosongan, gadis itu menghembuskan napas yang kian menyesakkan. Kenyataannya luka ini hanya miliknya seorang diri. Sebenarnya bumi juga tidak sedang hancur maupun runtuh. Semua masih sama. Tidak ikut hancur saat dunianya telah lebur.
"Hamasah, Nduk. Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Dan sebagian dari mereka yang beriman menunggu saat itu tiba agar bisa bertemu dengan Rabb-nya." Dinara menoleh pada sumber suara. Ia menatap wajah rahim kehidupannya yang telah mengandungnya selama sembilan bulan itu. Wajahnya masih sama, cantik meski terdapat beberapa garis halus yang menghiasi wajahnya. Namun, semua itu tidak melunturkan aura kecantikan yang natural.
Setelah beberapa menit kemudian, ia telah sampai di mana tempat semua orang akan berpulang. Namun, ketika Faiz hendak mengangkat tubuh istrinya, tiba-tiba saja tenaga Faiz hirap. Seperti ada magnet yang menyedot energinya. Ia tergugu, tapi secepatnya jemari itu menyeka air matanya.Â