Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kau, Aku, dan Butiran Hujan

3 November 2019   17:24 Diperbarui: 5 November 2019   22:01 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

"Maafkan aku, Mas!"

"Untuk apa?"

Hingga saat ini, aku masih belajar mengenalmu. Dan mesti merelakan pertanyaanku, tersimpan di dinding ruang tamu yang membisu. Bagimu, itu bukanlah pilihan keliru.

Nyaris, kali ketiga pergantian tahun. Aku masih saja tersesat menjejaki langkah kata atau cara, untuk menelusuri belantara rasa, hati dan sikapmu. Bagiku, kau adalah peta perjalanan paling rahasia.

***

"Hujan, Mas!"

"Iya. Udah tahu!"

Senja itu, tawamu mengisi sepi di beranda rumahmu. Menyisakan dua garis di kelopak matamu, dan aku yang berdiri dengan baju setengah kuyup di hadapmu.

Akupun hafal jika kondisi begitu. Kau akan memintaku segera masuk dan menunggu di ruang tamu. Sesaat, kau akan meninggalkanku. Mengambil handuk kecilmu dan secangkir kopi hangat untukku.

"Nopember yang jahat, Mas!"

"Kok jahat?"

"Hujan terus! Baju Mas jadi basah, kan?"

"Lebih bagus hujan rindu, ya?"

Kali kedua, tawamu hadir. Renyahnya menghangatkan tubuhku yang mulai mengajak seluruh lubang pori-pori bersekutu melawan dingin. Bagimu, kalimat itu rayuan. Bagiku rindu itu adalah perjuangan.

Ingin rasanya bercerita padamu. Kau dan aku baru seminggu menggenggam rindu. Andai kau tahu rasa sakit yang begitu lama dilalui butiran hujan saat berdiam di awan. Tak henti membujuk langit, merelakan berjuta-juta butirannya berjatuhan.

Jauh pengembaraan butir hujan menyapa cakrawala, dan akhirnya bermuara di alam raya. Menjadi bahan kisah-kisah indah tentang cinta. Atau menjadi teman cerita orang-orang yang terluka.

Malam itu, cukup hadirku mengobati rindumu. Tak kutemukan alasan terbaik, saat aku tak menanyakan kabarmu. Aku ingin kau tahu. Rinduku seperti hujan. Yang berjatuhan tanpa pertanyaan dan tanpa alasan.

***

"Maafkan Mas, ya?"

"Untuk apa?"

Nyaris tiga minggu tak bertemu. Sejak terakhir aku hadir di ruang tamu rumahmu. Dan butuh tiga minggu, usahaku berdamai dengan rasa dan inginku. Kembali mengulang dan mengingat setiap kata-kata yang terucap dari mulut ayahmu.

Biasanya, aku terlatih untuk menjawab semua pertanyaanmu, namun tidak pada perjumpaan sore itu. Lima belas menit berlalu. Hanya kalimat itu yang tersedia untukmu. Kau dan aku kembali meracik sunyi dengan ramuan sepi.

***

"Mas masih marah?"

"Gak!"

Kau pasti tahu, aku berbohong untuk jawaban itu. Manik matamu menyapa wajahku. Mata yang menjadi penunjuk arah, perta perjalanan paling rahasia bagiku untuk lebih mengenalmu. Kurasakan, kau ingin menemukan jawaban itu dari mata dan raut wajahku. Bukan ucapan yang terlontar dari bibirku.

"Mas tak bersalah! Ayah hanya ingin..."

Kalimatmu terhenti. Berganti dengan butiran bening yang mengalir di sudut matamu. Itu adalah caramu. Menunjukkan rasa dan inginmu padaku. Kukira, tak akan ada jingga senja sore itu. Awan mendung telah menemani tangismu.

Kau dan aku telah menelan lelah. Lelah mencari waktu hanya untuk sebuah pertemuan. Lelah bersembunyi untuk merajut rasa sebagai ikatan yang tak terpisahkan. 

Setiap orang pernah salah. Namun tak semua orang memiliki keberanian mengakui kesalahan. Atau bertanggungjawab atas kesalahan yang telah dilakukan.

***

Sejak tadi sunyi. Hanya ada satu rahasia yang terbuka. Juga pelukan erat ayahmu untukku.

"Kau tahu, sakit anakku?"

"Iya!"

"Kenapa tak kau..."

Aku tahu. Kalimat itu takkan pernah selesai. Kali ini, bahuku kembali basah oleh air mata. Bukan airmatamu. Tapi milik ayahmu.

Terbata, kususun kalimat di antara sesak rasaku. Aku tahu, itu pengakuan terakhirku untukmu. Di hadapan ayahmu. Di antara butiran hujan yang berjatuhan menyapa tanah merah yang masih basah.

"Maafkan aku, Ayah! Salahku, terlalu mencintai anakmu."

Curup, 03.11.2019
zaldychan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun