“Ini makam bapak dan ibu Darwis, Saudara siapanya?” tanyanya.
“Salman.” Aku mengenalkan diri. Aku perhatikan raut wajahnya, rasa-rasanya aku kenal. “Maaf, ini Bang Hamid?”
“Betul.” Dia menatapku. “Oh, iya ya, saya ingat. Dik Salman.”
“Masya Allah! Sehat Bang?”
“Alhamdulillah, sehat badan sih!”
“Mpok?” Aku menanyakan kabar istrinya.
“Tuh, di sana kuburannya.”
Ternyata istrinya telah tutup usia.
Aku merapal doa. Dia mengamini. Usai berdoa kami berpisah. Aku beri dia sedikit uang. Dengan senang hati dia menerimanya. Meskipun begitu aku masih merasa berutang budi karena dulu pernah diizinkannya menonton televisi di rumahnya. “Oh Bang Hamid, orang terkaya di masa lalu itu kini jauh berbeda.” Aku bergumam.Tak tampak sedikit pun sisa-sisa kejayaan itu pada dirinya. Tak ada informasi rinci yang kudapati mengenai Bang Hamid, kecuali bahwa Bang Hamid sering tidur di gubuk yang terdapat di pojok lahan tanah wakaf itu.[]