Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orang Terkaya

13 Juli 2019   12:53 Diperbarui: 20 September 2020   22:40 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bersamaan dengan itu, Bang Hamid merenovasi rumahnya dan membangun rumah baru. Menyusul, Bang Hamid membeli mobil seken yang digunakan sebagai omprengan bagi warga yang hendak belanja di pasar kecamatan yang berjarak lebih dari lima kilometer.

“Benar kan? Aku bilang juga apa!” cetus si anak tadi.Dia ingin menegaskan bahwa Bang Hamid-lah orang yang paling kaya di kampung kami. Namun sejujurnya ada yang kurang disukai oleh para penonton televisi di rumah Hamid, yakni sikap arogan anak-anaknya. Ketika anak-anak yang menonton televisiberisik, anak-anak Bang Hamid mengancam akan mematikan televisinya. Bahkan sering kali katiga anak BangHamid langsung mengomeli semua yang hadir, tak peduli ada orang tua. Semua yang hadir tak bisa berkutik. Tak ada yang berani melawan. Kalau sudah begitu semuanya terdiam. “Janji tidak akan berisik?” cetus salah seorang anak BangHamid setengah jam kemudian. Setelah hadirin sepakat, barulah televisi dihidupkan kembali. “Awas, kalau berisik, aku matikan, atau aku usir sekalian biang keroknya!” ancamnya dengan nada sinis.

Meskipun Bang Hamid terbilang orang berada tapi pendidikan anak-anaknya hanya sampai SD dan SMP. Bang Hamin tidak menganggap pendidikan itu penting.

            Kami sangat berterima kasih kepada Bang Hamid karena telah diizinkan menonton televisi selama lebih dari dua tahun. Seiring waktu, satu-demi satu ada warga lain yang mempunyai pesawat televisi. Hingga tahun 1980 tak kurang dari sepuluh rumah sudah ada pesawat televisinya. Kerumunan orang tidak lagi terpusat di rumah BangHamid. Aku pun tidak selalu menonton televisi di rumah Bang Hamid.

Sekali waktu aku dan anak-anak lainnya bermaksud hendak menonton televisi di rumah Bang Hamid. Malam itu akan ada tayangan acara Aneka Ria Safari. Namun sayang, di rumah Bang Hamid sedang terjadi keributan. Istri Bang Hamid, yakni Mpok Nemah menangis tersedu-sedu seraya mengeluarkan kata-kata makian dan kalimat kasar. Kami tidak begitu paham maksudnya. Keadaan tegang sehingga terpaksa kami berpencar ke rumah-rumah pemilik televisi yang lain yang jaraknya agak jauh.

Pada waktu lain tersiar kabar bahwa BangHamid kawin lagi dengan seorang janda di kampung tetangga. Sejak diketahui telah menikah lagi suasana hiburan di rumahnya jadi kurang seru karena istrinya sering marah-marah dengan sebab yang tidak kami ketahui.  Hal itu juga berimbas kepada anak-anaknya. Mereka jadi lebih temperamental, mudah mengomel kepada para tamunya walau pun gara-gara hal sepele seperti kaki menyentuh aki yang diletakkan di kolong meja.

Semenjak ayahku membeli pesawat televisi baru dari uang hasil penjualan seekor kerbau aku tak lagi menonton televisi di rumah orang lain. Bersamaan dengan itu di sebagian besar rumah teman-temanku juga telah ada televisinya. Namun satu dari kekayaan Bang Hamid yang masih jadi andalan  sebagian besar warga adalah mobil lostbakangkutannya. Setiap Ahad dan Rabu warga berbelanja ke pasar kecamatan dengan menumpang mobilnya. Tentu saja tidak cuma-cuma jika tidak mau jalan kaki sejauh lima kilometer di jalan berbatu koral yang berlubang-lubang dan sebagian becek. Karena punya mobil itulah posisi Bang  Hamid sebagai orang terkaya belum juga tergantikan. Terutama itu dalam penilaian anak yang keras kepala tadi.

***

Sepeninggalan ayah akibat gigitan ular tanah dan menyusul beberapa bulan kemudian ibu tutup usia aku diboyong sahabat ayah ke seberang pulau. Aku jadi anak angkatnya. Akupun pindah sekolah di sana, masuk di kelas tiga SD. Aku disekolahkan hingga meraih gelar sarjana ekonomi di kampus ternama. Aku bekerja di sebuah bank swasta. Jarang sekali aku pulang ke kampung asalku di Tangerang. Sekalipun pulang, aku tak berlama-lama. Namun kali ini, saat belum setahun pemerintahan presiden Jokowi, aku menyekar ke makan bapak-ibu bertepatan dengan ziarah masal warga di pemakaman kampung.

Hampir seluruh warga hadir di area makam di ujung utara kampung. Keadaan pemakaman sangat berbeda dengan dulu. Tak ada lagi semak-semak yang melingkupi sebuah makam pun. Seluruh sisi lahan tanah wakaf itu berpagar beton panel. Pintu gerbangnya tampakkokoh dan berwibawa. Pohon beringin yang menaungi sejumlah kuburan mengesankan ketenangan, tidak seram. Di bagian tengah berdiri saung, tepatnya bangunan permanen yang terbuka. Di bagian atasnya terpasang banerbertuliskan larangan membuat bangunan di atas makam. Di saung itulah kerumunan peziarah terpusat. Seorang ustaz memimpin doa. Hadirin mengamini. Di depan mereka berjajar botol terbuka berisi air.Panitia pengelola sibuk mengurusi sumbangan amal jariyah dari para pengunjung. Sementara itu di luar area makam petugas parkir sibuk pula mengatur kendaraan yang datang, ada pula yang pergi. Dimana ada keramaian di situlah pedagang ada. Begitupun di sekitar pemakaman ini. Belasan pedagang menggelar dagangannya di sepanjang sisi jalan. 

Senang sekali aku bisa bertemu dengan orang-orang kampungku, terutama teman-teman seangkatan. Aku mengenal mereka kurang dari separuh yang hadir, selebihnya adalah wajah-wajah asing yang aku belum pernah melihat mereka sebelumnya. Usai doa bersama aku mendatangi makam bapak dan ibu. Tampak dari kejauhan seseorang membersihkannya dengan cangkul. Seorang perempuan muda menghampiri dan memberinya uang jasa membersihkan makam.  Aku menyadari bahwa lelaki tua itu pekerja sukarela. Tanpa disuruh dia terus bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun