Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Luka Lama

15 Juli 2018   14:25 Diperbarui: 16 Juli 2018   00:06 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukankah aku telah berkata padamu, dengan bibir yang tegas dan mata yang sungguh, kuakhiri petualanganku dan menetap di hatimu. Aku yakin kau ingat pada kata-kata itu, karena itu detik-detik yang paling krusial dalam hidup kita, sebuah janji yang kuutarakan dengan segenap hati sebelum aku bertanya kepadamu, maukah kau menikah denganku? 

Sebuah janji yang kuutarakan di pasir putih Pandawa tepat pada hari kasih sayang itu. Sebuah janji yang disebar desau angin senja yang ketika itu terdengar lebih merdu dari suara penyanyi seriosa. Sebuah janji yang kuutarakan seiring matahari terbenam, yang kujadikan pertanda kututup masa laluku dan memulai masa depanku denganmu. Aku pikir kau telah mengamini janjiku itu, karena kau mengangguk dengan senyum menyembul dan mata yang bercahaya, kau ucapkan kata; ya, aku mau. 

Jika tidak, pastilah kau menolak lamaranku, atau mengulur waktu sebelum cincin permata itu kusematkan di jari manismu. Tetapi kau memberi jawabannya seketika itu. 

Segerombolan gadis berhijab yang tengah bermain riak ombak menjadi saksi. Mereka tersipu, berbisik-bisik, ketika menyaksikan tingkah dan kata-kata manis kita waktu itu. 

Tetapi, mengapa kau masih mencurigaiku istriku sayang? Masih memandangku sebagai seorang pecandu wanita. Mengapa kau masih menganggapku demikian setelah sudah sekian kali kutegaskan bahwa masa-masa itu telah kutinggalkan di belakang?

Kecurigaanmu padaku berlebihan, sayang. Kau tampak paranoid. Tampak seperti pemakai yang takut kehilangan candunya. 

Ketika kau mengajakku ke acara reuni SMA-mu, kau menyumpah serapahiku. Kau bilang aku genit sewaktu bertemu Sarah. Mataku, kau tuduh liar melihat sahabatmu yang ketika itu memakai gaun dengan kerah yang rendah.

Bagaimana sebaiknya aku memandang sahabatmu itu di hadapanmu, sayang? Apakah aku mesti berbincang dengan cara memunggunginya agar kau tak berpikir yang bukan-bukan? Atau aku harus mencungkil kedua mataku dan memberinya padamu agar bisa kau simpan? 

Kau menuduhku tebar pesona saat aku berusaha bersikap cair agar bisa masuk ke dalam obrolan kalian. Istriku, bukankah kau yang menahanku agar tak memisahkan diri dari kalian? Kau ingin aku, sebagai Manager di perusahaan properti, bisa membagi pengalaman pada Sarah yang baru ingin memulai dunia yang sama denganku. 

Dan ketika Sarah lebih banyak berbicara denganku kau menuduhku mengabaikanmu. Sarah beberapa kali melirikmu, sayang. Dan dari matanya lah awal aku tahu, jika air mukamu diluapi cemburu. Lantas mengapa kau hanya membatu? Membiarkan emosi meremas-remas jantungmu. Harusnya kau menarikku pergi dari Sarah membelah keramaian kemudian berdansa denganku di tengah-tengah seiring lagu Banda Neira, Sampai Jadi Debu, tengah melantun merdu.

Aku akan mendekapmu sayang, mencium bibirmu tanpa malu-malu, melumatnya hingga lidahmu dan lidahku berjumpa dan kita bertukar air liur dan menelannya, agar teman-teman SMA-mu tahu kita adalah pasangan suami-istri yang cinta gila. Tetapi kau tak menarikku dari Sarah. Sedang aku tak kuasa bersikap acuh karena kuatir menyinggung perasaan seorang - yang kau bilang - sahabat terbaikmu di SMA.

Kau duduk di bangku mobil dengan wajah sekaku kayu dan mata yang berapi-api. Sungguh sikapmu membuat perjalanan pulang kita menjadi sangat beku tetapi terasa panas dan gerah. Puncaknya ketika diammu meletup. 

"Dasar buaya! Puas kau lihatin teteknya Sarah?!" 

Aku tersentak, dan bingung! Karena pada detik itu aku tidak tahu jika aku telah menjadi sosok yang bersalah di matamu. Lalu segala tuduhan itu bertubi-tubi kau hujamkan tanpa kau beri jeda untukku menampiknya. Tiba di rumah kau berjalan dengan kaki mengentak-entak serta wajah yang geram dan tulang rahangmu tampak bersembulan. 

"Kau tidur di luar!"

Hardikmu. Matamu yang indah melototiku seram, dan jemarimu yang lentik itu kejam membanting pintu kamar. Dan, ingatlah, kejadian-kejadian seperti ini terus berulang hingga kita dikaruniai seorang putri secantik dirimu, sayang.  

**

Djenar, gadis tujuh belas tahun itu, kau pecat, setelah tiga bulan menjadi pengurus rumah dan bayi kita. Dia sengaja merantau ke kota, kemudian bekerja di rumah kita,  agar bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya yang lumpuh karena stroke. Kau sirnakan harapannya itu oleh karena kecurigaanmu padaku. Kau menuduh aku menggoda anak itu di belakangmu. 

Sayang, bukankah kau yang memintaku untuk mengajari Djenar cara membuat pasta kesukaanmu? Pasta buatanku yang kau bilang selalu membikinmu jatuh cinta setiap hari padaku. Bukankah kukatakan padamu? Biarlah aku saja yang tetap membuatkannya untukmu seperti waktu kita pacaran dulu. Tetapi kau tak ingin merepotkan aku. Kendati aku tak pernah sedikitpun merasa repot untuk itu. 

Sayang, bagaimana aku harus membuat Djenar, seorang gadis desa, mengerti cara membuat pasta kesukaanmu, yang sama persis rasanya dan tak akan kau muntahkan seperti yang sering kau lakukan ketika menyantap makanan yang tak sesuai seleramu, jika aku tak mengajarinya langsung? 

Kau memasang kamera tersembunyi - tanpa sepengetahuanku - di setiap sudut ruangan yang ternyata bukan untuk memantau orang lain tetapi memantau aku, suamimu. 

Dan, di malam itu, emosimu meledak. Kau berteriak laik harimau. Aku terhenyak dari nyenyak. Bayi kita di ranjang ayun mengoak-ngoak. Dalam rekaman itu, kau menyaksikan Djenar dan aku bertabrakan saat aku sibuk mengumpulkan resep yang perlu disiapkan untuk mengajarinya membuat pasta kesukaanmu. 

Djenar yang bertubuh kurus dan pembawaannya yang lemah terjatuh dan aku membangunkannya. Apa yang salah pada orang yang menarik lengan seseorang yang tengah terjatuh untuk kembali bangkit berdiri, sayang? Tetapi belum penuh kesadaranku dari kantuk kau menghujaniku dengan makian.

"Brengsek! Dasar hidung belakang kau! Bajingan!"

Tanganmu yang menunjuk-nunjuk kasar kepadaku kurasakan tak kalah tajam dari ujung pisau. 

Di tengah aku yang masih linglung dan syok oleh karena marahmu yang sedemikian tiba-tiba, kau berlari serupa orang kesurupan, menuju kamar Djenar, berkali-kali kau nyaris terpeleset saat menuruni tangga oleh karena diperbudak amarah. 

Kau mencaci-maki Djenar tak karuan. Segala kata-kata tak senonoh kau hujamkan. Kau mengusirnya malam itu, di tengah hujan turun seperti ribuan panah yang diempas langit ke rumah kita. Suara jatuhnya yang seperti genderang perang beradu dengan oakan bayi kita yang tak kunjung reda. 

Djenar kuyup. Rumah kita kuyup. Matamu kuyup. 

Istriku, sekiranya jiwaku masih liar seperti dulu, Djenar bukanlah incaranku.  Sebagaimana ular tak memakan setumpuk sayur, bahkan memangsanya pun tidak.

**

Kau menggerutu. Merutuki malam-malam kita. Karena aku tak lagi mencumbuimu lebih lama belakangan ini. Kecurigaanmu pun kian meradang. Kau meminta agar Ayu, sekretarisku, sesegera mungkin kuganti dengan seorang pria, katamu. 

Sayang, lebih baik sekretarisku berkepala kambing asal dia betina ketimbang manusia tetapi dia pria. Mengertilah. 

Kau emosi karena keinginanmu kali ini tak bisa kupenuhi. Kau menahan amarah dengan menggigit bibirmu hingga berdarah. Kau tuduh aku tak lagi berselera padamu karena kau pikir aku telah melampiaskannya di luar sana. Kau merasa jijik padaku karena membenarkan dugaanmu yang pada kenyataannya salah. Kepalaku serasa ingin pecah menghadapi kecurigaanmu padaku.  Berhari-hari kemudian kita tak lagi bercinta karena kau menutup diri. Malam-malam kita pun menjadi sunyi di kamar ini hingga aku tak tahu lagi arti kesunyian itu sendiri. 

Sayang, apa kau tahu, kutahan hasrat untuk tak mencumbuimu dengan mendekap baumu yang mengendap di bantal yang kupeluk setiap malam. 

Dan suatu hari, di suatu pagi yang terang, disaat kau masih lelap, kutatap wajahmu dalam-dalam. 

Ada luka di sana. Luka yang menyadarkan bahwa masa laluku suram dan nyata.

Pengkhianatan. Pengkhianatan yang berkali-kali kulakukan kepadamu ketika masih berpacaran. Luka yang ternyata meninggalkan jejak hingga kini dan mungkin sampai kapan pun tak pernah bisa hilang. 'Apakah yang bisa kuperbuat untuk menyembuhkannya, sayang?' hatiku bertanya, sambil menatap wajahmu yang sendu, dan bibirmu yang muram. (*) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun