Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Luka Lama

15 Juli 2018   14:25 Diperbarui: 16 Juli 2018   00:06 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Djenar yang bertubuh kurus dan pembawaannya yang lemah terjatuh dan aku membangunkannya. Apa yang salah pada orang yang menarik lengan seseorang yang tengah terjatuh untuk kembali bangkit berdiri, sayang? Tetapi belum penuh kesadaranku dari kantuk kau menghujaniku dengan makian.

"Brengsek! Dasar hidung belakang kau! Bajingan!"

Tanganmu yang menunjuk-nunjuk kasar kepadaku kurasakan tak kalah tajam dari ujung pisau. 

Di tengah aku yang masih linglung dan syok oleh karena marahmu yang sedemikian tiba-tiba, kau berlari serupa orang kesurupan, menuju kamar Djenar, berkali-kali kau nyaris terpeleset saat menuruni tangga oleh karena diperbudak amarah. 

Kau mencaci-maki Djenar tak karuan. Segala kata-kata tak senonoh kau hujamkan. Kau mengusirnya malam itu, di tengah hujan turun seperti ribuan panah yang diempas langit ke rumah kita. Suara jatuhnya yang seperti genderang perang beradu dengan oakan bayi kita yang tak kunjung reda. 

Djenar kuyup. Rumah kita kuyup. Matamu kuyup. 

Istriku, sekiranya jiwaku masih liar seperti dulu, Djenar bukanlah incaranku.  Sebagaimana ular tak memakan setumpuk sayur, bahkan memangsanya pun tidak.

**

Kau menggerutu. Merutuki malam-malam kita. Karena aku tak lagi mencumbuimu lebih lama belakangan ini. Kecurigaanmu pun kian meradang. Kau meminta agar Ayu, sekretarisku, sesegera mungkin kuganti dengan seorang pria, katamu. 

Sayang, lebih baik sekretarisku berkepala kambing asal dia betina ketimbang manusia tetapi dia pria. Mengertilah. 

Kau emosi karena keinginanmu kali ini tak bisa kupenuhi. Kau menahan amarah dengan menggigit bibirmu hingga berdarah. Kau tuduh aku tak lagi berselera padamu karena kau pikir aku telah melampiaskannya di luar sana. Kau merasa jijik padaku karena membenarkan dugaanmu yang pada kenyataannya salah. Kepalaku serasa ingin pecah menghadapi kecurigaanmu padaku.  Berhari-hari kemudian kita tak lagi bercinta karena kau menutup diri. Malam-malam kita pun menjadi sunyi di kamar ini hingga aku tak tahu lagi arti kesunyian itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun