Mohon tunggu...
Sulistyawan Dibyo Suwarno
Sulistyawan Dibyo Suwarno Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

citizen jurnalis yang berkantor di rumah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Drama Wisata ala AADC 2

13 Mei 2016   19:23 Diperbarui: 13 Mei 2016   19:34 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi : sulistyawan (dok.pri)

Beberapa hari lalu saya nonton AADC 2, terdorong rasa penasaran. Konon film ini  berhasil membukukan 3 juta penonton meski belum ada satu bulan film ini  diputar. Harus saya akui, promosi film  ini cukup berhasil memikat hati penonton, sehingga setiap jam putar bioskop-bioskop selalu kehabisan tiket. Setidaknya itu yang saya  pantau dari beberapa bioskop di Jogja.

Tetapi ada alasan lain yang mendorong saya untuk menonton film ini di bioskop.  Sebab, saya punya bayangan , film ini akan penuh dengan adegan drama romantic yang mengharu biru. Konflik antara Rangga dan Cinta yang  14 tahun tak bertemu. Ditambah dengan Karmen yang terjerumus persoalan narkoba dan hadirnya Trian yang sudah menjadi tunangan  Cinta. Rasanya  sebuah ramuan persoalan yang sangat rumit , menarik dan asyik, karena penonton diajak untuk menyelami sisi-sisi persoalan antar mereka..

Sementara itu secara  pribadi, Rangga yang masih punya persoalan yang belum selesai. Persoalan pribadi dengan ibu kandung yang meninggalkannya dan  menikah dengan  pria lain, lalu Rangga juga  harus berhadapan dengan Trian, sementara  sebagai sahabat  dekat, Cinta harus ikut menyelesaikan persoalan Karmen.

Namun semua ekspektasi saya terhadap film ini ternyata sangat berlebihan. AADC 2 meluncur sangat datar. Bahkan tak ada konflik yang menyengat selama   durasi film diputar . Yang ada, film ini justru penuh dengan adegan travelling yang sedikit dibumbui dengan adegan drama. Maka.. Dinas Pariwisata dan semua pelaku wisata di Jogja berterima kasihlah dengan tayangan film ini. Sebab, secara tak langsung film ini telah mempromosikan potensi wisata Jogja sampai ke sudut-sudut terkecilnya.

Jika Spielberg mengatakan bahwa setiap sudut frame dalam sebuah film harus punya makna.. maka saya tak menemukan alasan diambilnya beberapa angle yang diambil di- tampilkan Riri Riza dalam film ini dengan  persoalan besar antara  Rangga  dan Cinta. Namun, yang banyak ditampilkan  Riri Riza dalam film ini adalah  banyaknya beberapa peristiwa  kebetulan.Misalnya.. secara kebetulan Rangga pergi ke Jogja dan pada saat yang sama Cinta juga pergi ke Jogja menghadiri sebuah pameran seorang seniman Eko Nugroho yang  menurut film ini Eko merupakan seniman yang kurang dikenal. Lalu alasan apa Cinta bela-belain ke Jogja ?

Lalu  hadirnya Rangga ke Jogja juga  tanpa ada alasan kuat. Karena ibunya ?  “ Selama ini saya sudah merasa tak punya ibu. “ ujar Rangga  Lalu apa yang membuat Rangga ke Jogja ? . Apa hanya karena bujukan Sukma adik tirinya yang baru saja dikenal ?  Munculnya  tokoh Sukma  secara tiba-tiba  di café Rangga , juga  terkesan aneh. Begitu  populerkah Rangga di Amerika sehingga café kecilnya gampang ditemukan ? ;)

Pertemuan Rangga dan Cinta di Pameran Eko Nugroho, juga sangat datar.  Akan lebih manis  jika Rangga  melantunkan puisi, karena itulah senjatanya. Layaknya Arya Dwi Pangga yang merayu Nari Ratih. Tapi.. itu tidak terjadi. Penyair sekelas Rangga cukup menyapa Cinta secara biasa tanpa puisi. Pertemuan kedua insan ini pun sangat datar, Persoalan yang saya bayangkan rumit ternyata  meluncur sangat biasa..

Selain itu..sejumlah adegan pun saya rasakan sangat janggal. Misalnya...saat Rangga  ditampar Cinta ....ehhh… Cinta  yang sudah out frame kembali nyamperin Rangga lagi untuk meminta maaf.  Padahal adegan ini rasanya lebih manis jika Rangga mengejar Cinta yang  meninggalkannya karena emosi, terjadi perdebatan sengit…berkelahi , bergumul direrumputan lalu.. diakhiri dengan adegan  , tangisan dan ciuman. Usai itu... Cinta menceritakan  alasannya  menerima Trian sebagai tunangannya.. Manis sekali kelihatannya…

Tapi  tidak demikian yang ditampilkan dalam film ini. Semua persoalan  yang begitu rumit ternyata dapat selesai hanya dengan minta maaf dan puisi.  Hee..hee… Andai hidup semudah itu.. akan banyak lahir para penyair... 

Disisi lain, kesuksesan film ini  meraup banyak penonton dan mampu  bertahan cukup lama di bioskop harus diapreaiasi. Semoga film-film semacam ini mampu menular ke film Indonesia lainnya, sehingga layar bioskop kita nantinya lebih banyak diputar  film-film berkualitas. (*) 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun