Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Kebebasan

29 Maret 2024   03:31 Diperbarui: 29 Maret 2024   03:39 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Mali Maeder/pexels.com)

Kakiku sudah mulai lemah untuk menyusuri jalur berbatu kerikil ini. Namun, aku harus terus melangkah. Aku tak lagi peduli sampai mana akhir dari dua jalur besi panjang yang kupijak sekarang. Aku pun benar-benar tak peduli ke arah mana lintasan besi ini membawaku.

Bagiku sudah tak ada artinya lagi tersesat. Tujuanku cuma satu, membebaskan diri dari semua beban yang sudah tak sanggup kutahan lagi. Apalagi warna kelabu yang menaungiku di atas sana seperti memberikan restu padaku untuk segera pergi. 

Membayangkan diriku akan meninggalkan orang-orang yang sangat kusayangi, tak sebanding sakitnya dengan siksa batin yang selama ini kuderita.

Anak yang selama ini menjadi penghalang terbesarku untuk memilih pergi pun telah kupasrahkan kepada takdir agar dijaganya.

Aku ingat ketika bocah berusia 4 tahun itu semalam mengucapkan tiga patah kata yang membuatku bertekad untuk memberinya kebahagiaan dengan caraku sendiri.

"Mama, aku lapar." katanya dengan bibir sedikit bergetar.

Aku memeluknya sampai dia merasa lebih tenang dan mulai lelap dalam mimpinya. Tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk anak itu selain terus mendekap dan mendekap. Bahkan, tak ada bulir bening jatuh dari mataku.

Sudah lama hatiku terasa tawar, mungkin akibat timbunan luka yang lama kupendam sendiri telah menjadi semacam imun dari impuls apa pun. Luka yang datang dari segala arah tanpa bisa kubagi dengan siapa pun.

Suami yang tak pernah bisa kucintai, dengan angkuhnya sok paling berkuasa atas hidupku. Seumur hidup harus tinggal bersamanya pun sudah membuatku menderita, karena demi uang lelaki itu tega menyakiti banyak orang. Dan, kini aku harus menanggung malu atas ulahnya.

Uang-uang pinjaman itu menguap begitu saja bersama runtuhnya usaha judi online haram miliknya. Entah di mana keberadaanya saat ini. Kata-kata terakhirnya sebelum lari dari tanggung jawab masih terngiang-ngiang di kepalaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun