Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cacing

10 Juni 2019   12:53 Diperbarui: 10 Juni 2019   13:35 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : unspalsh

* * *

"Jadi, Igo tak lagi bersamamu, ya?" Mama mengelus rambutku lembut.

"Masih, Ma." Aku menatap mata perempuan yang sangat menyayangiku itu. "Tapi setelah santap yang mengecewakan itu, dia seolah menjauhiku." Kuceritakan kepada mama detail permasalahannya. Sesekali kulihat dia seolah menahan tawa.

"Jadi, persoalannya mie toh!" Mama beranjak memenuhi panggilan papa. Sekejap lamanya, dia menemuiku lagi. Dia menyarankan agar aku berterus-terang saja kepada Igo. Sebab bila dibiarkan berlarut-larut, bisa jadi hubungan kami yang mulai dingin, akan membeku selamanya. Aku harus bersiap-siap melepaskan seorang cowok yang kuidam-idamkan selama ini.

Ya, bersikap jujur adalah penyelesaiannya. Igo pasti maklum. Masalah trauma terhadap suatu makanan, pastilah bukan persoalan penting untuk diperdebatkan. Maka tanpa berpikir panjang, aku menemui Igo di rumahnya di minggu pagi yang cerah.

Kebetulan kedua orangtuanya sedang berolah-raga di Lapangan Merdeka. Jadi, kami berdua duduk di ruang tamu dibekap sunyi. Igo bersikap dingin. Dia memilih membaca koran ketimbang menoleh ke arahku.

"Go," kataku pelan. "Maafkan aku masalah kemarin dulu itu, ya!"

"Tak apa-apa. Hanya persoalan sepele." Dia menatapku. Dia tersenyum sangat tipis.

"Sebenarnya semua itu salahku," lanjutku. Lalu kuceritakan tentang masa laluku sehingga takut kepada segala makanan berbentuk mie. Kuceritakan pula bahwa ketika reuni keluarga Igo, aku hampir muntah-muntah melihat begitu banyak hidangan berbentuk cacing.

Igo tertawa. Tawa yang lepas. "Lho! Kalau itu masalahnya sih, kenapa harus ditutup-tutupi? Sorry, aku sempat kecewa kepadamu. Aku pikir kau cewek yang senang bertingkah tak baik, terutama di hadapan orang ramai. Pakai ngaku puasa lagi."

Aku ikut tertawa. Igo memencet hidungku. Sepinggan martabak telor dihantarkan oleh bibik pembantu lengkap dengan saosnya. Igo bergairah. Aku yang kembali mendapatkan semangat cinta seorang Igo, mendadak merasa lapar juga. Kami bersantap bersama sambil bercerita yang indah-indah, bahkan rencana melanjutkan kuliah setamat SMA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun