Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cacing

10 Juni 2019   12:53 Diperbarui: 10 Juni 2019   13:35 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : unspalsh

Di dalam mobilnya yang sporty, Igo bercerita banyak tentang sanaknya yang dari luar negeri itu. Mereka orang-orang hebat. Tapi di balik kehebatan mereka, masih saja tersisa kenangan kelezatan kuliner negeri ini, seperti mie.

"Mie?" Aku terbelalak. Serasa tumpukan cacing sedang menggumpal bola-bola tanah berupa bakso, membayang di pelupuk mataku. Tanganku dingin. Aku ingin menyuruh Igo memutar arah mobil menuju rumahku. Sepertinya kiamat kecil akan menimpaku. Mie? Wah, sanaknya doyan mie! Itu artinya di meja makan akan terhidang beberapa mangkok makanan menjijikkan itu, meski hanya sebatas sisipan.

"Kenapa? Kau kok terkejut? Apakah kau tak pernah mendengar kata mie?" Igo refleks memutar kemudi ke kiri. Seekor kucing melintas di depan, dan harus dihindari.

Aku mengeluh. Melihat tatapan Igo yang marmut itu, aku tak memiliki kesanggupan memintanya memutar arah. Seperti tak bisanya aku menolak segala kehendaknya. Karena jujur, cintaku kepada cowok yang satu ini berlipat-lipat. Inilah salahnya terlalu mencintai kekasih. Padahal jauh-jauh hari Mama pernah mengingatkan agar aku kalau mencintai seorang cowok sekadarnya saja. Mencintai terlalu banyak, membuat diriku lembek dan selalu mengalah. Tapi apakah aku merasa berdosa mengalah terhadap cowok bermata polos itu? Tidak! Aku sangat senang melakukan segala pintanya. Tapi kali ini, sanggupkah aku berbuat yang terbaik bagi diriku? Kurasakan bibir ini kelu. Perutku menggelinjing dan mual. Aku hanya merasa berdosa mengapa tak jauh-jauh hari berterus-terang kepada Igo tentang mie dan traumaku.

"Apa kau tak senang mie?" tembak Igo.

Aku tersedak. Mengatakan tak suka mie sama saja menghina kesenangan sanaknya. "Suka, suka!" dustaku.

"Hmm, aku paling suka mie! Sangat suka!" Tatapan marmutnya berubah menjadi sorot mata serigala yang bernafsu menyantap seekor domba. Mulutnya berdecap-decap. "Pokoknya, mie membuat hidupku damai. Mama dan papa malahan sering marah karena aku terlalu memuja makanan itu. Kau tahu, dari kecil aku sangat mendoyaninya. Kata Mama, pernah dulu ketika aku merengek makan mie ketika disuguhin nasi dan sayur, mama terpaksa membuat trik. Lumayan radikal sih! Mama menambahkan saos cabe ke mie yang kuminta. Hasilnya aku kepedasan, dan hampir seharian tak meminta mie. Tapi besoknya, aku tak kapok-kapok menikmati makanan yang super lezat itu." Dia mendecap-decap lagi.

Sementara aku hanya dapat meringkuk ketakutan di jok mobilnya. Aku bagaikan anak ayam yang kehilangan induk. Oh, Mama, bagaimana ini?

Mobil sporty diparkirkan Igo di luar halaman rumahnya. Katanya, biar nanti mudah mengajakku jalan-jalan usai acara reuni keluarga. Kata Igo, "Aku paling tak betah berkumpul-kumpul dengan mereka. Paling-paling yang diperbincangkan hanyalah kenangan-kenangan usang yang cengeng. Jadi, sehabis santap siang, kita bisa langsung cabut. Oke?"

Aku diperkenalkan Igo kepada mama dan papanya. Mama Igo perempuan gemuk dan berwajah bulat plus ramah. Papa Igo lelaki kurus berwajah tirus plus kaku. Perpaduan yang kontras. Tapi mereka seperti pasangan yang kompak. Kompak sama-sama memujiku. Kompak sama-sama bangga atas pilihan Igo.

Hatiku berbunga. Apalagi sanak Igo yang dari luar negeri itu sangat ramah kepadaku. Sebelum aku duduk saja, mereka telah terburu menyiapkan minuman untukku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun