"Kalian makan di rumah juga, kan?" tanya si mama kepada Igo.
"Pasti dong, Ma! Kita sebentar lagi kan mau pesta mie?" ucap cowok yang semakin membuat hatiku tak tenang.
Pesta mei? Artinya akan banyak cacing-cacing yang harus dikerubungi. Perutku terasa berpusing-pusing. Apalagi ketika mama Igo menyuruh semua orang bergabung di meja makan.
Ya, ampun! Aku hampir tersedak. Aku tak menyangka makanan penghuni meja melulu dari mie. Ada mie ayam, bakso, kwe tiau, mie goreng dan beberapa tipe lain yang tak dapat kukenali.
"Hmm, bersantaplah kita," kata Igo sambil menyendukkan mie goreng ke piringnya. Ketika hendak menyendukkan mie itu ke piringku, seketika ada hawa panas melingkar-lingkar di perutku. Coba bayangkan bila ini terjadi kepada dirimu. Saat genting di mana kau harus menyantap tikus panggang, yang melihatnya saja kau sudah terbirit-birit.
"Tidak! Aku lagi puasa?" dustaku cepat. Seluruh pasang mata menatapku heran. Mungkin di benak mereka muncul tanda-tanya. Bagaimana mungkin aku menghadiri acara reuni mereka dengan kondisi berpuasa. Itu artinya aku tak menghargai Igo, keluarga dan sanaknya. Beruntunglah mama Igo memujiku sebagai seorang gadis alim.
"Jarang lho gadis-gadis sekarang yang mau berpuasa. Apalagi puasa senin-kamis yang Ira lakukan," kata mamanya.
Wajahku akhirnya terselamatkan. Tapi selepas mereka berbincang-bincang mengupas kenangan masa silam, aku menarik Igo ke ruang tamu. Kukatakan aku ingin secepatnya pulang ke rumah.
"Aku ada janji menemani Mama ke pasar?"
"Menemani mamamu ke pasar? Bukankah ini hampir malam?" Semburat kekecewaan membayang dari tatap matanya. Aku cemas, ini adalah awal keretakan hubungan kami. "Lagi pula kau sangat bertingkah aneh. Sikapmu di depan orangtua dan sanakku mengecewakan. Ada apa sih, Ra?" Baru sekali ini aku melihat Igo marah. Aku berharap marahnya tak berkelanjutan.
Tapi harapanku berlawanan dengan kenyataan.. Igo langsung permisi mengantarku pulang kepada mereka yang masih asyik di meja. Suasana bertambah tak nyaman. Lebih tak nyaman lagi Igo diam tanpa reaksi saat menyetir mobil. Sampai di depan rumahku, dia juga tak turun. Dia hanya membiarkanku berlalu sembari mengucapkan titip salam kepada kedua orangtuaku.