Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Narasi

15 November 2019   12:46 Diperbarui: 15 November 2019   12:42 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pintarnesia.com

Narasi hari ini dirangkai oleh kerumunan orang di pasar-pasar. Saling tawar menawar harga ikan asin, cuaca yang cerah, dan aroma bunga mawar. Percakapan mengalir seperti selokan yang kepenuhan. Meluap dengan sopan. Meski sebagian besarnya adalah teriakan.

Narasi di kantor-kantor yang tenang adalah perbincangan elegan di ruangan yang berpendingin maksimal, dering telepon yang sangat beradab, dan beberapa tatapan nakal dari tuan-tuan yang kelimpungan melihat rok-rok pendek berlambaian dari nona-nona muda yang menyadari semua namun malah memilih cekikikan.

Narasi di terminal, stasiun dan halte bus kota lebih mirip pemilihan umum yang serba rahasia. Orang-orang terpaku pada gawainya sambil sesekali meratapi kendaraan yang tak kunjung tiba. Ini adalah dunia persinggahan yang bagi sebagian orang tidaklah memerlukan percakapan. Diam menjadi pilihan terbanyak. Udara yang sudah sedemikian kering lantas bersemak.

Narasi di pulau-pulau yang penghuninya bisa dihitung dengan jari adalah tumpahan kisah dari lautan, angin kencang, dan ikan-ikan terbang. Begitu pula perahu bocor yang minta ditambal, dan juga harga bensin yang binal. Di tempat ini, narasi terbanyak adalah seberapa lama badai akan terjadi dan seberapa cepat akan berhenti.

Narasi di kota-kota yang kehilangan libido karena kelelahan bercinta dengan pemeo. Tentang kota yang ramah, baik budi, dan tak gampang dirasuah. Namun pada kesudahannya justru membidani kegelisahan, melahirkan gerutuan, dan mendewasakan amarah yang mengeringkan pangkal tenggorokan. Secara habis-habisan.

Narasi hari ini ditutup oleh senja yang memerankan dirinya sebagai pertapa. Bersimpuh di kaki langit tanpa berkata apa-apa. Hanya menunjukkan roman muka dengan cahaya sekedarnya. Menyambut sekumpulan hujan yang datang bertandang. Di halaman rumah orang-orang yang kehilangan waktu senggang. Lalu menyalahkan putaran bumi sebagai anak jalang. Padahal sesungguhnya merekalah yang lupa kata pulang.

Pontianak, 15 Nopember 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun