Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Sayatan-sayatan Hujan

31 Januari 2019   17:57 Diperbarui: 31 Januari 2019   18:05 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seringai kegelapan muncul di atas kota yang detak jantungnya lebih dihidupi oleh cahaya. Mau tidak mau kepalanya yang kaku tertunduk kelu di antara rimba menara kaca yang merupakan anak-anak kebanggaannya.

Hujan rasanya akan menuruni undak-undakan langit yang juga kehilangan cahaya setelah dilahap habis oleh senja. Bila memang jadi datang, kota akan basah kuyup, tenggelam dalam kabut yang diperberat oleh logam-logam tak kasat mata.

Orang-orang berlarian mencari perlindungan. Hujan memang menyenangkan. Tapi juga menakutkan jika melibatkan malam. Tak ada yang sanggup memastikan apakah bulir-bulirnya yang berjatuhan adalah benar-benar air biasa. Bukannya tajam kata-kata yang dihamburkan oleh kota yang berbisa.

Didahului oleh gerutu ragu-ragu petir yang coba mengharu biru, pekat sepenuhnya jatuh tengkurap. Menelungkupi kota yang berusaha seadanya meralat hilap. Dari kekeliruan yang mungkin hari ini terlanjur dicaci-makikan. Kepada orang-orang yang telah memeras nafasnya hingga bibirnya bergemeletukan.

Cahaya-cahaya lampu ibarat sabetan lengan ilalang. Setajam mata pedang. Memperkenalkan luka-luka pada peristiwa kelumpuhan hari. Ketika hujan yang menari-nari lebih dirasakan sebagai pedihnya sayatan-sayatan hati.

Jakarta, 31 Januari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun